'Masyarakat kita harus dipaksa pakai produk dalam negeri'
Di berbagai sektor Indonesia masih jauh ketinggalan dengan negara-negara ASEAN. Seperti mutu pendidikan masih rendah.
Pada akhir 2015 nanti Indonesia akan menyongsong diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA ini dibentuk berawal dari kesepakatan para pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Desember 1997 silam di Kuala Lumpur, Malaysia. Adapun tujuan kesepakatan untuk meningkatkan daya saing ASEAN agar bisa menyaingi China dan India untuk menarik investasi asing.
Dengan diberlakukannya MEA, otomatis ada beberapa dampak yang ditimbulkan, yakni dampak aliran bebas barang bagi negara-negara ASEAN, dampak arus bebas jasa, dampak arus bebas investasi, dampak arus tenaga kerja terampil, serta dampak arus bebas modal.
Apakah Indonesia mampu bersaing? Di berbagai sektor Indonesia masih jauh ketinggalan dengan negara-negara ASEAN. Seperti mutu pendidikan masih rendah, kualitas insfrastruktur masih kurang mumpuni, sektor industri yang rapuh lantaran masih ketergantungan dengan impor, serta segudang permasalahan lain yang tidak bisa dianggap enteng.
Menanggapi hal ini, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto mengaku Indonesia saat ini memang terkesan belum siap menghadapi MEA. Pemerintah dianggap belum memiliki regulasi yang mumpuni untuk memproteksi produk dalam negeri.
"Saya sebetulnya agak ragu dengan kesiapan dari kita sendiri. Masalahnya juga harus ada dukungan dari pemerintah sendiri di mana ada regulasi yang mengatur bagaimana produk-produk dari kita harus kompetitif di pasaran," ujar Unggul Priyanto dalam wawancara khusus dengan merdeka.com, Kamis (3/9).
Khusus di bidang teknologi, menurut Unggul sebenarnya produk Indonesia tidak kalah bersaing dengan produk luar negeri dari segi kualitas. Namun kesadaran memakai produk dalam negeri masih kurang. Unggul pun mengusulkan agar masyarakat 'dipaksa' untuk memakai produk dalam negeri.
"Ya masyarakat Indonesia harus dipaksa menggunakan produk dari dalam negeri sendiri. Contohlah China misalkan. Mereka dulu kan tidak diperbolehkan memakai barang dari luar negeri kalau misalkan di negerinya sendiri tidak bisa membuat. Hampir nggak ada mereka menggunakan produk luar negeri," ungkap Unggul.
"Korea pun juga begitu, semenjak kecil generasi mereka didoktrin untuk selalu menggunakan produk-produk dalam negeri. Jadi masyarakat di Indonesia ini satu belum percaya terhadap hasil teknologi dari negeri sendiri," imbuhnya.
Berikut wawancara lengkap Kepala BPPT Unggul Priyanto dengan wartawan merdeka.com Anwar Khumaini dan Fauzan Jamaludin:
Bagaimana persiapan BPPT menuju MEA di akhir 2015 nanti?
Sebetulnya jangan ditanya ke BPPT, BPPT hanya pelaku. Tapi ditanyakan ke pemerintah seperti kementerian-kementerian lainnya. Kalau dari kami sendiri melihat dengan dibukanya kran perdagangan dunia, maka artinya persaingan juga akan semakin ketat. Nah, saya sebetulnya agak ragu ini dengan kesiapan dari kita sendiri. Masalahnya juga harus ada dukungan dari pemerintah sendiri di mana ada regulasi yang mengatur bagaimana produk-produk dari kita harus kompetitif di pasaran. Kompetitif dalam arti kata seperti pajaknya, bahan bakunya itu yang impor lebih rendah. Terus kemudian kompetitif dari sisi gimana caranya orang Indonesia harus beli produk barang sendiri.
Sebenernya kalau kita bicara keberpihakan kan sebetulnya belum terlalu. Sebagai contoh gampangnya itu, aturan tender misalnya. Ada barang China ada barang Indonesia. Barang Indonesia lebih mahal lima perak, barang China lebih murah ya, saya yakin jikalau tender pasti barang China yang menang. Orang juga takut dihukum, nah itu yang perlu diperhatikan. Ada nggak payung hukum di mana pembelanja barang pemerintah, bisa berpihak ke dalam negeri tanpa harus ada konsekuensi hukum. Itu sudah diperbaiki belum? Bahkan kalau bisa itu wajib pakai meskipun sedikit mahal menggunakan barang dalam negeri. Kita teknologi itu sudah bisa bikin kereta api misalnya, meskipun bukan kereta cepat ya. Kapal juga sebetulnya sudah bisa bikin, boiler untuk pembangkit listrik.
Kalau bicara kualitas ya susah, tapi kalau gak seperti itu susah nanti kapan kita pakai teknologi buatan sendiri. China misalnya nih, dulu teknologinya gak bagus-bagus amat sekarang juga masih biasa-biasa saja, bahkan ada produk-produk kita ada yang tak kalah bagus dengan china. Cuma ya barangnya agak mahal. Ya setelah reformasi itu kan kita tidak memikirkan hal itu yang akhirnya kemudian mengandalkan ekspor barang mentah. Kemudian barang dalam negeri lebih seneng impor. Bahkan kalau cerita tentang kereta api cepat dan lain sebagainya, mestinya ditanya dulu. Jangan Cuma sekadar harga dan teknologinya, mesin mereka lah.
Saya ingat jamannya Pak Habibie saat Indonesia mau beli pesawat tempur. Kita itu harus punya bargaining teknologi. Cuma sekarang kan akhirnya kita mengandalkan murah barangnya saja. Yang itu berimbas terhadap negeri ini hanya jadikan pasar saja.
Tapi apakah pemikiran Anda itu sudah disampaikan ke pemerintah langsung?
Ya, sudah, cuma kan pemerintah ini macem-macem ya, menteri kan macem-macem. Ada pemangku kepentingan yang berpikir ini barang teknologi ada yang lebih bagus dan murah kenapa harus pakai produk dalam negeri yang lebih jelek. Mungkin ada juga yang seperti itu.
Kenapa tidak ada sinergi antara pemerintah dengan lembaga seperti BPPT ini?
Kalau itu, jangan tanyakan kepada saya ya, bukan kompetensi saya untuk menjawab. Tapi, kalau bicara dahulu, saat jamannya Pak Harto ada lembaga yang ditunjuk sebagai clearing house, yaitu BPPT. Dan itu kan sudah dicabut dari jaman pemerintahan selepas Pak Harto. Jadi ya akhirnya seperti ini. Kalau misalkan hal itu tidak dicabut misalkan seperti ramai kereta api cepat itu pasti diserahkan terlebih dahulu ke BPPT. Kalau hal itu bisa, setidaknya kita bisa berpikir hal itu pasti mengarah kepentingan nasional kan.
Tidakkah ada upaya menghidupkan itu kembali?
Itu sih terserah presiden ya. Yang mengeluarkan itu kan presiden dan mencabutnya presiden juga. Sebetulnya BPPT dulu itu dibentuk bukan hanya soal riset tapi lembaga clearing house. Clearing house bisa macem-macem. Misalnya pemerintah mau beli kapal tempur dan lain sebagainya, nah BPPT ini mengkaji apakah galangan kapal kita mampu menampung atau tidak.
Jadi clearing house itu sebagai tempat menilai bukan hanya sekadar tujuan barang impor juga tapi juga untuk melindungi produk dalam negeri. Jadi apakah kita siap menghadapi MEA, jangan tanyakan ke BPPT saja, tapi seluruh pemerintahan.
Tapi kalau dari BPPT sendiri, siap gak sih dengan adanya MEA ini?
Dari kita sendiri sih siap-siap saja ya. Karena soal bicara hasil penelitian, tidak semua penelitan luar negeri sesuai dengan Indonesia. Tapi saya yang khawatirkan itu industri. Industri ini kan tulang punggung. Jangan mimpi kalau dengan cara yang masih sekarang ini jual bahan mentah, Indonesia tetap akan menjadi pasar. Karena itu perekonomian Indonesia harus menguatkan industri.
Menurut saya, kita agak lalai untuk pertama membangun infrastruktur, kedua membangun industri dalam negeri. Dua-duanya kita udah lalai. Nah, yang pertama itu sudah diperbaiki sama Pak Jokowi, nah tinggal yang kedua ini harus kita matangkan betul. Menurut saya banyak yang harus diperbaiki seperti payung hukum dan lain sebagainya.
Bagaimana tanggapan Anda terhadap masyarakat kita yang masih skeptis dengan teknologi negeri sendiri?
Ya masyarakat Indonesia harus dipaksa menggunakan produk dari dalam negeri sendiri. Contohlah China misalkan. Mereka dulu kan tidak diperbolehkan memakai barang dari luar negeri kalau misalkan di negerinya sendiri tidak bisa membuat. Hampir nggak ada mereka
menggunakan produk luar negeri. Korea pun juga begitu, semenjak kecil generasi mereka didoktrin untuk selalu menggunakan produk-produk dalam negeri. Jadi masyarakat di Indonesia ini satu belum percaya terhadap hasil teknologi dari negeri sendiri, kedua ya itu pemahaman bahwa teknologi terkait dengan industri kurang.
Berapa persen peran BPPT terhadap tumbuhnya industri ini?
Kalau bicara soal peran sih banyak. Misalkan kita kan punya balai-balai pengujian. Prototype pesawat terbang itu kan hanya di BPPT. Pengujian prototyupe kapal juga ada dan terbesar di Asia Tenggara. Pengujian mobil juga ada terbesar di BPPT. Jadi BPPT sebenernya besar tapi kecil-kecil. Jadi tidak hanya riset dari BPPT. Tapi layanan teknologi juga, bagian dari penerapan teknologi. Jadi banyak yang salah kaprah kalau BPPT itu sebagai lembaga riset seperti LIPI. Itu tidak. Makanya, dulu waktu Pak Habibie di BPPT, BPPT didesain tidak hanya riset tapi layanan teknologi, ya konsultan.
Seperti kemarin Pak JK bilang itu sebenernya sudah jadi bagian dari BPPT. Kita juga mengerjakan. Hanya saja lembaga pemerintah selama ini lebih senang dikontrakkan ke orang lain kan begitu daripada ke BPPT. Mungkin saja mereka gak tahu.
Kok sama-sama lembaga pemerintahan gak tahu ada BPPT? Artinya komunikasi antar pemerintah kurang dong?
Susah ya kalau saya mau ngomong terus terang. Makanya waktu Pak JK kasih penugasan, saya juga bilang, tolong masalah pengaturan keuangan itu juga harus direvisi. Itu yang harus diclearkan dulu agar jangan dikriminalkan. Makanya mekanisme harus diatur ulang. Bisa jadi memang sebagian kurang tahu. BPPT itu dibentuk sebagai konsultan teknologi pemerintah. Jadi ketika Pak Habibe disuruh pulang kan untuk hal itu. Saat ini mungkin karena faktor ketidakkurang percayaan dari negeri sendiri. Tapi faktanya, banyak intasnsi BUMN masih pakai BPPT.
Jadi fokus riset BPPT apa?
Kalau riset kita fokuskan di hilir tidak ada yang di hulu. Jadi semua proposal riset atau pengkajian dan penerapan teknologi yang tidak fokus di industri, saya coret. Fokus di hilir dan teknologi. Beda sama LIPI, dan LAPAN kemudian BATAN.