Melucuti KPU hingga lumpuh
KPU jadi bebek lumpuh. Keputusannya akan jadi bulan-bulanan Bawaslu dan DKPP.
Tak sia-sia upaya Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Sutiyoso meyakinkan banyak pihak, bahwa partainya berhak ikut pemilu. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta, Kamis (21/3) kemarin, memutus bahwa PKPI harus diikutkan sebagai partai politik peserta Pemilu 2014.
Ini putusan kedua PTTUN Jakarta, setelah Partai Bulan Bintang (PBB) juga diminta disertakan jadi peserta pemilu. Sebelumnya, kedua partai tersebut bersama 15 partai lainnya, dinyatakan tidak lolos verifikasi partai peserta pemilu oleh KPU.
Jika memegang janji KPU, bahwa pihaknya akan menerima putusan PTTUN atas gugatan PKPI sebagaimana dilakukan terhadap PBB, maka KPU akan segara menetapkan PKPI sebagai partai peserta Pemilu 2014. Apabila PBB mendapat nomor 14, PKPI akan mendapat nomor 15.
KPU tidak punya ruang kasasi atas putusan PTTUN. UU No. 8/2012 memang tidak mengaturnya secara tegas soal ini. Namun Peraturan Mahkamah Agung atau Perma No. 6/2012 memastikan, bahwa KPU tidak bisa mengajukan kasasi atas putusan PTTUN. Banding dan kasasi hanya diberikan kepada partai.
Ini memang menyalahi prinsip hukum universal, bahwa semua pihak yang merasa diperlakukan tidak adil oleh pengadilan tingkat rendah, berhak banding atau kasasi ke pengadilan lebih tinggi. Pembuat undang-undang mengabaikan isu ini, sehingga KPU harus menerima cap “tidak becus bekerja” atas gugatan PBB.
Berbeda dengan PBB, cap KPU atas putusan gugatan PKPI lebih buruk lagi: melawan hukum. Menurut PTTUN Jakarta, KPU seharusnya melaksanakan apa yang diputuskan Bawaslu, karena undang-undang mengharuskan begitu. PTTUN tidak menerima alasan bahwa putusan Bawaslu memililiki cacat material dan prosedural.
Putusan PTTUN ini merupakan preseden, bahwa putusan Bawaslu atas semua perkara sengketa pemilu harus dimaknai final dan mengikat. UU No. 8/2012 memang mengecualikan ketentuan final dan mengikat itu atas perkara verifikasi partai peserta pemilu dan pencalonan anggota legislatif. Tetapi pengecualian ini menjadi tidak berarti buat KPU, karena Perma No. 6/2012 menutup kesempatan banding dan kasasi buat KPU atas putusan Bawaslu dan PTTUN.
Jika memang demikian, maka dalam proses penyelenggaraan pemilu, setiap keputusan KPU atas hasil tahapan-tahapan pemilu (daftar pemilih tetap, daftar partai politik peserta pemilu, daftar calon anggota legislatif, daftar perolehan suara, daftar perolehan kursi dan daftar calon terpilih) bisa dikoreksi oleh Bawaslu. Itu sama artinya, posisi Bawaslu lebih tinggi daripada KPU.
Apabila konstruksi kelembagaan penyelenggara pemilu benar seperti itu, maka pengambil keputusan atas hasil pemilu bukan lagi KPU, tetapi Bawaslu. Dengan demikian Bawaslu ini bukan lagi lembaga pengawas pemilu, bukan pula sekadar lembaga penyelesai sengketa.
Bawaslu telah berkembang menjadi superbody karena dapat mengoreksi semua keputusan KPU atas hasil pemilu. Padahal Bawaslu bukan lembaga peradilan, bahkan lembaga peradilan pun putusannya masih bisa dibanding dan dikasasi.
Putusan PTTUN ini menambah keruwetan baru, mengingat sebelumya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga berhasil memerintah KPU untuk memverifikasi faktual partai, yang sebelumnya sudah dinyatakan KPU tidak lolos verifikasi administrasi. KPU sesungguhnya bisa saja menolak perintah DKPP. Namun ancaman pemecatan dari DKPP rupanya lebih menakutkan.
Jadi, keputusan KPU atas hasil-hasil tahapan pemilu, bisa jadi bulan-bulanan Bawaslu dan DKPP. Ini belum termasuk Mahkamah Konstitusi, yang memang mendapat hak konstitusional untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu. Jika memang demikian, lalu apa posisi dan fungsi KPU selaku penyelenggara pemilu?