Menelaah dan membincangkan pemilu
Begitu banyak urusan pemilu belum selesai, sehingga kita tidak bisa fokus memilih partai politik dan calon yang baik.
Ribut-ribut tentang verifikasi pendaftaran partai politik peserta Pemilu 2014, menyadarkan kita, begitu banyak urusan pemilu yang belum selesai. Bayangkan, sejak Orde Baru tumbang, bangsa ini sudah 3 kali menyelenggarakan pemilu. Namun soal memastikan partai peserta pemilu saja, belum bisa. Keributan selalu berulang.
Di negara-negara lain yang sedang membangun demokrasi, masalah pendaftaran peserta pemilu biasanya hanya terjadi pada pemilu pertama setelah rezim otoriter runtuh. Bisa dimaklumi karena pada saat itu belum ada aturan main tentang partai politik dan pemilu. Namun setelah itu semuanya menjadi jelas, aturan main rapi sehingga bisa diprediksi siapa yang akan menjadi peserta pemilu berikutnya.
Di negeri ini, aturan main berganti-ganti sehingga bangsa ini seakan tidak bisa bikin standar partai macam apa yang berhak mengikuti pemilu. Partai menang pemilu lalu diperlakukan sama dengan partai baru. Syarat administrasi yang harus dipenuhi partai juga berbeda setiap pemilu. Akibatnya keributan selalu terjadi saat verifikasi.
Seharusnya masyarakat mendapat kepastian jauh hari sebelum pemilu: partai-partai politik mana yang (otomatis) bisa menjadi peserta pemilu dan siapa-siapa yang akan mereka calonkan menjadi anggota legislatif. Dengan demikian masyarakat punya waktu untuk mengenali partai dan calonnya, sehingga pas hari H pemilihan mereka mantab memberikan suara.
Verifikasi pendaftaran partai politik peserta pemilu hanyalah satu dan yang pertama dari sekian banyak keributan yang akan terjadi pada Pemilu 2014. Jika dilihat dari sisi manajemen pemilu atau dalam bahasan undang-undang disebut pelaksanaan tahapan pemilu, setiap tahapan mengandung banyak masalah.
Mulai Januari 2013, KPU akan menata daerah pemilihan DPRD. Dasar penataan itu adalah jumlah penduduk. Namun sampai sekarang banyak pihak pesimistis, bahwa data penduduk yang disiapkan Kemendagri benar-benar akurat. Janganlah soal akurasi, apakah data itu bisa diserahkan pada akhir tahun ini saja, banyak yang ragu.
Keributan juga akan terjadi pada tahapan pencalonan. Di tingkat internal partai akan terjadi pertikaian antarcalon; akan banyak calon yang terlempar dari daftar calon karena tidak disukai pimpinan partai. Masalah berlanjut di KPU karena akan muncul calon-calon gagal gara-gara berkas pendaftaran tidak lengkap. Saling tuding terjadi: KPU merasa sudah kerja sesuai aturan, calon menuduh berkas sengaja dihilangkan.
Demikian seterusnya, akan banyak masalah bermuculan pada tahapan-tahapan lain: pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil dan bahkan pelantikan. Ini baru dari sisi manajemen.
Dari sisi penegakan hukum, masalahnya menjadi rumit. Pelanggaran selalu berulang karena tidak ada sanksi. Penguatan organisasi Bawaslu hanya menghamburkan dana karena wewenang tetap terbatas. Akibatnya dalam proses penegakan hukum ini, yang terjadi bukan bagaimana menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran, tetapi keributan antara Bawaslu dengan KPU dan Bawaslu dengan kepolisian.
Jika penyelesaian masalah manajemen dan penegakan hukum bisa belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya atau praktek pemilu di negara-negara lain, tidak demikian dengan masalah pembangunan sistem pemilu. Jika penyelesaian masalah manajemen dan penegakan hukum ada semacam standar pemilu demokratis yang bisa diacu, tidak demikian halnya dengan pembangungan sistem pemilu yang tepat bagi setiap negara. Pada titik inilah isu rekayasa sistem pemilu menjadi krusial.
Rekayasa sistem pemilu di sini tentu saja dalam arti positif: bagaimana mendesain sistem pemilu dalam kerangka konstitusi yang sesuai dengan konteks sosial politik Indonesia kini dan nanti. Di manapun, perdebatan panjang soal ini selalu terjadi, karena paran pembuat undang-undang -notebene adalah kader partai politik- lebih memperhatikan kepentingan kini dan di sini. Tapi kita tidak bisa berlama-lama di sini, karena masyarakat ingin merasakan nikmatnya demokrasi secara lebih konkrit.
Jika para pemimpin nasional tidak memiliki visi politik jelas ke depan dan konsisten memperjuangkannya, maka masalah pembangunan sistem pemilu akan selalu muncul. Setiap tahun dunia politik kita akan ribut soal jadwal pemilu, syarat kepesertaan, besaran daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara, ambang batas, formula perolehan kursi, dan formula calon terpilih.
Begitu banyak urusan pemilu yang belum selesai, sehingga kita patut membincangkannya. Sebagai warga negara kita tidak ingin hanya jadi obyek pemilu. Kita harus menjadi subyek pemilu yang utuh. Jika tidak menjadi calon, kita harus menjadi pemilih yang mandiri dan betul-betul paham dalam memberikan suara. Setiap Kamis, kolom pemilu ini akan hadir mengajak diskusi soal pemilu dan demokrasi.
*Penulis adalah wartawan merdeka.com