Mengabadikan derita Palestina
Kecuekan Israel dan AS atas isu permukiman Yahudi akan membuat semua upaya perdamaian tak bermakna.
Anda pasti paham bahwa yang saya maksud dengan "mengabadikan" bukanlah mengambil gambar dengan kamera foto atau video mengenai penderitaan rakyat Palestina, melainkan merujuk pada tiadanya upaya sungguh-sungguh "dunia" dalam mengakhiri kondisi itu sehingga nestapa Palestina menjadi abadi.
Kamis (2/1), Menlu AS John Kerry tiba di Israel untuk mencoba "menggairahkan kembali" proses perundingan damai dan mencari landasan bersama yang makin mengkerut antara Pejabat palestina dan Israel yang sama-sama pesimis. Keesokan harinya Jumat (3/1), Kerry menemui Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Kunjungan itu adalah kunjungan Kerry ke-10 dalam setahun yang ia maksudkan untuk meletakkan dasar suatu "framework agreement" yang akan menuntaskan persoalan pokok konflik beberapa dekade yang akan membuka jalan menuju terwujudnya negara Palestina merdeka.
Namun dunia mencatat bahwa pembicaraan perdamaian antara Israel dan Palestina selama ini, berada dalam kebuntuan dan nyaris gagal akibat tuntutan keamanan Israel. Israel antara lain menuntut penempatan tentara Israel di Lembah Jordan dan bagian timur Tepi Barat Sungai Jordan serta berlanjutnya pembangunan permukiman Yahudi.
Isu-isu lain yang juga mengganjal dan alot untuk diselesaikan kedua pihak antara lain masalah perbatasan, pengungsi dan status Jerusalem. Para negosiator dari Palestina dan Israel tak bakalan mundur dari prinsip dan tuntutan mereka.
John Kerry sendiri sangat optimis dengan upaya yang dilakukannya selama ini. Ia menegaskan bahwa mengupayakan perdamaian antara Palestina dan Israel bukanlah suatu "mission impossible". Beralasankah optimisme John Kerry? Mari kita uji dengan beberapa kenyataan ini.
Pertama, tiadanya momentum dan aura positif perundingan. Presiden Mahmoud Abbas dalam pernyataannya pada Selasa (31 Desember 2013) menyatakan bahwa ia tak akan segan-segan mengatakan "tidak" meski ada tekanan pada proposal perdamaian yang akan merugikan kepentingan rakyatnya.
Bagi Mahmoud Abbas, yang ia maksud dengan kepentingan rakyatnya adalah garis batas sebagaimana sebelum perang Timur Tengah tahun 1967 sebagai wilayah negara Palestina masa depan, Jerusalem Timur sebagai ibukota Palestina dan penyelesaian yang adil bagi pengungsi Palestina.
Ketua tim perunding Palestina, Saeb Erakat, dalam wawancaranya kepada Euronews (27 Des 2013) juga menegaskan bahwa Israel tidak menginginkan perdamaian. Menurutnya perundingan selama ini tidak menghasilkan apapun karena tingkah Israel yang menjauhkan diri dari upaya damai sejak penghidupan kembali negosiasi pada 29 Juli 2013 seperti dengan pembunuhan terhadap 31 warga Palestina, pembangunan 5.992 unit rumah baru bagi warga Israel, serangan terhadap masjid Al Aqsa dan penguasaan Jalur Gaza.
Di lain pihak, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dalam konferensi pers bersama John Kerry (2 Januari) bahkan telah "menyerang" Mahmoud Abbas dengan menyatakan bahwa dengan menyambut para tawanan Palestina yang dibebaskan Israel pada 29 Desember 2013 sebagai pahlawan, Abbas tidak menyiapkan Palestina untuk berdamai melainkan mengajarkan pemuda Palestina untuk membenci Israel, dan hal itu bukan jalan menuju perdamaian.
Kedua, rencana Israel untuk terus membangun pemukiman Yahudi akan membuat upaya Kerry sia-sia. Berbagai media dunia termasuk Indonesia memberitakan lelucon bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, pada Rabu lalu, menunda pengumuman yang direncanakan untuk membangun lebih dari 1.000 rumah baru di permukiman Yahudi sampai usainya kunjungan Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, ke wilayah tersebut untuk tidak mempermalukan Kerry.
Isu pembangunan pemukiman Yahudi selama ini telah menjadi ganjalan utama. Kecuekan dan ketidakseriusan Israel dan AS atas isu ini akan membuat semua upaya perdamaian selama ini tak bermakna.
Ketiga, upaya Kerry sengaja atau tidak, tidak disinergikan dengan upaya berbagai organisasi multilateral untuk mendesak kedua pihak, khususnya Israel, serius berunding dan tidak mengambil tindakan yang bisa merusak proses perdamaian.
Dalam perkembangan terkini, Uni Eropa pernah membuat petunjuk pelaksanaan (guidelines) yang melarang dukungan dana bagi institusi di wilayah Palestina yang diduduki Israel. OKI pernah meminta blok Islam di PBB untuk mengusulkan adanya sidang khusus Dewan Keamanan PBB membahas pelanggaran Israel di Jerusalem, namun langkah-langkah itu terbukti tak membuat Israel jera dan bahkan mengabaikannya.
Bila perkembangan seperti ini terus terjadi dunia akan mengabadikan derita rakyat Palestina. Oleh karena itu masyarakat internasional harus berani mengambil terobosan dalam masalah ini, karena tiadanya perdamaian di Palestina akan berdampak signifikan pada perdamaian dunia.