Menjaga supremasi olahraga mahkota
Seperti halnya Jamaika dan Kenya mempertahankan olahraga mahkota, Indonesia wajib menjaga supremasi bulutangkis.
Banyak yang bertanya, mengapa orang Jamaika bisa lari begitu cepat. Pertanyaan wajar mengingat catatan Jamaica di kancah lari jarak pendek (sprint) dunia yang fenomenal.
Negeri dengan populasi hanya 2,9 juta orang, dengan begitu sumber daya atletnya juga terbatas, ada di peringkat ke-14 perolehan medali Olimpiade 2008 Beijing. Jamaika meraih 6 emas, 3 perak, 2 perunggu (total 11 medali) semua didapat dari nomor sprint. Empat tahun kemudian di London, peringkat Jamaika turun jadi ke-18, tetapi perolehan total medalinya bertambah jadi 12 (4 emas, 4 perak, 4 perunggu). Semua medali lagi-lagi dari cabang atletik nomor sprint.
Peringkat Jamaika ini di atas negara lain yang sumber daya atletnya jauh lebih besar. India misalnya dengan populasi 1,2 miliar duduk di peringkat 55 Olimpiade London dengan 2 perak dan 2 perunggu atau Indonesia di peringkat 63 dengan 1 perak dan 1 perunggu.
Pada Kejuaraan Dunia Atletik yang berakhir pekan lalu, Jamaika bertengger di peringkat 3 dengan 6 emas, 2 perak, 1 perunggu. Perolehan medali hanya kalah dari dua adidaya atletik, Rusia dan Amerika Serikat. Lagi-lagi semua medali Jamaika dari nomor sprint, termasuk emas 100 meter putra dan putri.
Gelar manusia tercepat sejagat kini dipegang orang Jamaika atas nama Usain Bolt. Dia pemegang rekor dunia 100 meter putra dengan catatan 9,58 detik, bertahan sejak 2009. Di Moskow pekan lalu, Bolt mencatat 9,77 detik. Pemegang rekor sebelumnya juga orang Jamaika atas nama Asafa Powell.
Fenomena yang nyaris mirip dengan Jamaika bisa dilihat pada Kenya. Negara Afrika Timur punya catatan sama hebatnya dengan Jamaika. Jika Jamaika spesialis produsen sprinter, Kenya khusus penghasil pelari jarak jauh dan menengah. Dari akumulasi Olimpiade Beijing dan London, 25 medali (8 emas, 8 perak, 9 perunggu) semua datang dari lari jarak menengah dan jauh. Pekan lalu di Moskow, Kenya meraih 5 emas, 4 perak, 3 perunggu semua dari lari jarak menengah dan jauh, duduk di peringkat empat klasemen medali di bawah Rusia, AS, dan Jamaika.
Saking menarik Jamaika dan Kenya, banyak penelitian, film, atau buku disusun untuk menjawab fenomena itu. Buku komprehensif tentang fenomena ini salah satunya disusun oleh Jon Entine, "Taboo: Why Black Athletes Dominate Sports and Why We’re Afraid to Talk About It."
***
Tidak mudah memahami bagaimana negara miskin Jamaika bisa melahirkan manusia-manusia tercepat sejagat. Ada banyak teori untuk menjelaskan mengapa para kompatriot Bob Marley itu marajai lintasan lari di seluruh dunia.
Teori pertama menyebut nutrisi dan makanan sehat. Pelari hebat Jamaika mayoritas dulunya anak desa yang berjalan jauh ke sekolah, selalu makan makanan sehat dan minum air bukan softdrink.
Teori lain mengungkapkan hasil latihan lari cepat di atas rumput. Lari di atas rumput memperkuat otot kaki. Konon Usain Bolt mengawali latihan lari di atas rumput. Konsep lain adalah kemiskinan sebagai motivator. Hampir semua anak di Jamaika bermimpi ingin jadi bintang lari yang kaya raya.
Teori lain yang banyak diyakini secara ilmiah menyebut tentang gen leluhur yang membuat suatu ras punya keunggulan dalam olahraga tertentu. Teori ini yang dipaparkan Jon Entine dalam bukunya. Menurut Entine, Jamaika yang berada di Karibia memiliki satu garis ras dengan orang Afrika Barat. Mereka pada umumnya punya otot kuat, pinggul sempit, betis ringan, dan refleks tendon lutut lebih cepat. Mereka juga punya enzim anaerobik yang bisa berbuah energi lebih eksplosif.
Orang Kenya dan Afrika Timur cenderung lebih pendek dan kurus dengan kapasitas paru-paru lebih besar. Pelari-pelari Kenya banyak berasal dari dataran tinggi hingga secara alamiah punya daya tahan untuk lari jarak jauh. Tipikal Kenya adalah musibah untuk lari cepat. Rekor 100 meter putra di Kenya adalah 10,26 detik. Masih bagus rekornas Indonesia 10,17 detik atas nama Suryo Agung Wibowo.
Teori gen itu juga yang menjelaskan mengapa negara Eurasia seperti Iran kuat di angkat besi dan gulat. Dengan otot tubuh lebih besar, tungkai lebih pendek, badan lebih tebal, tidak ada prototipe sprinter maupun pelari maraton. Sementara Asia, dengan tubuh lebih pendek, lengan dan tungkai pendek, cenderung lebih fleksibel kuat di olahraga permainan semacam tenis meja dan bulutangkis.
Tentu saja, sukses Jamaika dan Kenya tidak semata karena genetik. Jauh di atasnya adalah sistem latihan yang lengkap dan tertata rapi. Sadar punya resource besar dan genetik bagus, rezim latihan disusun sedemikian rupa sehingga bakat yang melimpah berbuah prestasi gemilang turun temurun. Disiplin, adalah syarat lain yang tidak bisa ditawar lagi.
***
Jamaika menjadikan sprint sebagai olahraga mahkota. Demikian pula dengan Kenya pada maraton, dan Iran pada angkat besi. Fokus pada pembinaan olahraga mahkota membuat prestasi mereka di cabang itu konsisten.
Indonesia juga punya olahraga mahkota yaitu bulutangkis. Saat ini, persaingan bulutangkis dunia tidak melulu pada persaingan Indonesia, China, Korea Selatan, dan Malaysia. Negara-negara Asia lainnya mulai mengintip pestasi. Beberapa kejutan muncul. Saina Nehwal (India) merebut perunggu di Olimpiade London. Ratchanok Intanon menjadi juara dunia tunggal wanita baru lalu di Guangzhou.
Thailand masih punya kader bagus di sektor putri pada Porntip Buranaprasertsuk, Nichaon Jindapon, dan Sapsiree Taerattanachai. India juga punya Parupalli Kashyap dan Srikanth Kidambi di sektor putra. Ini belum termasuk Nguyen Tien Minh (Vietnam) dan Tai Tzu-ying (Taiwan) yang sesekali membuat kejutan.
Bagi Indonesia, hasil nihil di Olimpiade London sudah menjadi pelajaran. Dua gelar kejuaraan dunia di Guangzhou baru lalu menjadi obatnya. Namun, gelar itu tidak perlu dirayakan sebagai euforia. Dua gelar itu baru awal kebangkitan setelah terpuruk. Seperti halnya Jamaika dan Kenya mempertahankan olahraga mahkota, Indonesia wajib menjaga supremasi bulutangkis.