Menuju DKI 1 (1): Diawali pertarungan elite politik
Semakin maju masyarakat, semakin kuat arus informasi, semakin mapan demokrasi, maka pemilihan semakin gampang diprediksi
Dua pekan menjelang batas akhir pencalonan, pemilihan gubernur DKI Jakarta langsung memanas. Sejumlah nama kuat lenyap; nama baru muncul tak terduga.
Semakin maju masyarakat, semakin kuat arus informasi, semakin mapan demokrasi, maka pemilihan pejabat politik semakin gampang diprediksi. Apalagi masyarakat sudah mempercayai metode survei. Tapi premis itu tidak berlaku di DKI Jakarta.
Ada banyak kejutan menjelang batas akhir pencalonan gubernur pada 19 Maret 2012 nanti. Lihatlah nasib Prya Ramadhani. Meski sudah memasang baliho di seantero Jakarta sejak awal tahun lalu, namanya masuk kotak. Padahal sebagai Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta, secara politik posisinya paling kuat.
Hal yang sama juga menimpa Tantowi Yahya, anggota Komisi I DPR, dan fungsionaris DPP Partai Golkar. Namanya tiba-tiba lenyap dari bursa pencalonan, meskipun statusnya sebagai selebriti kondang menjanjikan kemenangan dalam pemilihan.
Justru dari Partai Golkar tiba-tiba muncul nama Alex Noerdin, gubernur Sumatera Selatan. Ibarat sekali berkunjung memperkenalkan diri di kalangan Partai Golkar DKI Jakarta, dia langsung mendapatkan kepercayaan: menjadi calon tunggal Partai Golkar.
"Dukungan PPP memang kami perlukan. Namun seandainya tanpa PPP pun, kami akan mengajukan Alex. Namanya menjadi jaminan untuk menarik perhatian elite partai politik dan pemilih Jakarta," demikian tutur fungsionaris Partai Golkar.
Sementara di lingkungan PDIP, Priyanto tiba-tiba berterus terang tak melanjutkan pencalonan. Padahal popularitas mantan jenderal berbintang dua ini lumayan. Sebagai wakil gubernur DKI Jakarta, tentu sebagian besar warga Jakarta mengenalnya. Apalagi namanya sempat jadi bahan berita media setelah mengajukan pengunduran diri.
Walikota Surabaya Bambang DH yang merasa berhasil membangun kota pahlawan, juga pamitan tak meneruskan niat mencalonkan. Sebaliknya nama walikota Solo Jokowi, mendadak jadi harapan banyak pihak di PDIP.
Yang menarik adalah Nono Sampono. Mantan Komandan Paspamres ini, tiba-tiba pindah haluan. Dari semula mengajukan diri ke PDI untuk calon gubernur DKI Jakarta, tiba-tiba menerima tawaran Partai Golkar untuk dijadikan calon wakil gubernur mendampingi Alex Noerdin.
Diterimanya Nono sebagai calon wakil gubernur, berarti mengubur harapan Lulung Lunggana, yang sedari awal bersedia mendapingi Alex. Ketua DPD PPP DKI Jakarta itu harus menerima kenyataan pahit, bahwa elite DPP PPP pun gagal meyakinkan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakri alias Ical dkk untuk menjadi calon wakil gubernur.
Sesungguhnya, dalam mengajukan calon gubernur dan wakil gubernur, hampir semua partai politik memakai dua parameter: tingkat elektabilitas yang diukur melalui survei, dan dukungan fungsionaris partai di tingkat bawah. Kenyataanya pertimbangan elite partai yang lebih menentukan.
Jika benar mengacu kedua parameter tersebut, tidak mungkin nama Alex Noerdin bisa dicalonkan Partai Golkar. Atau sebaliknya, nama Priyanto hampir pasti diajukan oleh PDIP. Namun kenyataannya lain, dan hal ini bisa saja menimpa Fauzi Bowo alis Foke.
Sebagai gubernur DKI Jakarta, popularitas Foke paling tinggi di antara calon-calon yang lain. Namun itu bukan jaminan, bahwa Foke akan diajukan oleh Partai Demokrat (PD). Posisinya sebagai anggota Dewan Pembina pun tidak serta merta melapangkan jalannya untuk menuju DKI 1 kembali. Sebab hingga kini Ketua Umum DPP PD Anas Urbaningrum, masih memilih Nachrowi Ramli daripada Foke.
Siapa yang akan dimajukan Partai Demokrat, masih tergantung tarik menarik elite PD. Namun dengan modal popularitas dan pendanaan yang kuat, Foke bisa saja diajukan PDIP. elite PDIP agaknya masih ragu-ragu, Jokowi yang sederhana tidak cukup kuat untuk menghadapi Foke atau Alex. Dalam hal ini keraguan elite PDIP lebih menentukan daripada dukungan wong Jowo yang tinggal di Jakarta.