Menyoal pasal pembungkam opini publik
"Selama ini pasal 27 UU ITE dijadikan pasal karet," Ketua Komisi I DPR RI dari Fraksi PAN Hanafi Rais.
Kasus dihadapi aktivis anti korupsi Ronny Maryanto Romadji menambah daftar panjang polemik pasal 27 ayat 3 Undang Undang Republik Indonesia Tentang Teknologi Komunikasi dan Informasi. Tujuh tahun lalu, kasus serupa juga pernah dialami Prita Mulyasari. Prita dijerat pasal itu karena dianggap mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni International. Kemudian ada juga Fajriska Mirza, dia juga dijerat pasal yang sama karena ikut mengomentari dugaan suap dilakukan Jaksa Muda Pengawas Marwan Effendi lewat jejaring twitter.
Banyak kalangan menilai penetapan pasal dalam UU ITE itu menjadi celah untuk melakukan kriminalisasi. Pasal itu dinilai bisa ditarik ulur sesuai keinginan pihak yang berkepentingan dan memainkan ketentuan. "Selama ini kan itu dijadikan pasal karet. Terlalu mudah mempidanakan orang hanya karena kritik, hanya karena opini," ujar Wakil Ketua Komisi I DPR RI dari Fraksi PAN Hanafi Rais saat berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu. Dia pun menyebutkan alasannya kenapa akhirnya UU ITE selalu batal direvisi.
Memang, Undang-Undang ITE sejak tahun 2015 masuk ke dalam Program Legislasi Nasional. Namun sayang karena alasan berbelit-belit, rancangan perubahan undang-undang itu gagal untuk direvisi. Padahal rancangan usulan perubahan ditawarkan pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara. Rencananya revisi itu bersifat terbatas pada pasal tertentu sesuai permintaan pemerintah. Salah satunya ialah mengubah poin dalam pasal pidana 27 UU ITE.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menjelaskan jika sejauh ini poin yang akan direvisi masih belum ada keputusan. Dia pun berharap revisi undang-undang itu bisa dirampungkan tahun ini. Apalagi, Menkominfo sebagai perwakilan pemerintah juga akan dimintai klarifikasi dalam rapat kerja dengan komisi III.
Namun pandangan berbeda datang dari politikus PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari. Dia menjelaskan jika sebenarnya UU ITE dibuat untuk memberikan kebebasan masyarakat dalam menyampaikan opini. Dia pun berharap jika ada aduan menggunakan UU ITE, seharusnya Kepolisian berhati-hati agar tidak memangkas aspek demokrasi. "Itu sudah banyak korbannya, malah menghabisi kebebasan," ujar Eva beberapa waktu lalu. Dia pun menegaskan jika penegak hukum tidak menggunakan pasal tersebut sebagai alat pembungkaman.
"Kuncinya di pengetahuan, pemahaman, komitmen penegak hukum tidak menggunakan hal itu sebagai alat pembungkaman, kontraproduktif itu," katanya.
Terkait revisi UU ITE, Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Hanura Arief Suditomo mengatakan, rencananya sidang bakal digelar pada Februari hingga Maret nanti masih memastikan pengguna internet bisa bertindak bebas dan bertanggung jawab. Karena menurut dia hingga saat ini banyak pendapat masuk terkait revisi undang-undang tersebut. Apalagi banyak juga tidak setuju revisi undang-undang tersebut.
"Pendapatnya masih banyak sih ya, ada yang ditingkatkan, ada yang dihapus," ujar Arief.
Pandangan berbeda juga datang dari Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM (PSDHAM) Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar. Menurut dia, sebagian dari UU ITE justru telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Untuk itu dia berharap dalam merevisi UU ITE harus menghapus seluruh aspek pidana.
"Akan lebih baik jika undang-undang ITE kita lebih banyak mengatur tentang pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk e-commers, termasuk data, tata kelola konten internet, dan sebagainya," kata Wahyudi. Dia pun berharap agar para politisi tidak bersembunyi di balik pasal pencemaran nama baik. "Ke depan karena kecenderungan internasional adalah melakukan dekriminalisasi terhadap pidana pencemaran nama baik, ini jadi masalah perdata," ujarnya.
Senada dengan Wahyudi, Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers Asep Komarudin menegaskan, jika dia menolak draft revisi diajukan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Asep beranggapan revisi itu justru tidak menyentuh subtansi. Untuk itu dia pun mendorong pasal-pasal dalam UU ITE berkaitan dengan penghinaan pencemaran nama baik sebaiknya dihapuskan. Sebab dalam KUHP sudah dirinci mengenai berbagai bentuk penghinaan.
"Biarkan itu di dalam hukum perdata saja yang mengaturnya," kata Asep.