Panik SBY menjelang akhir jabatan
Setelah melansir isu kudeta, memarahi menteri, dan mengecam FPI, kini SBY angkat Patrialis jadi hakim konstitusi.
Dalam enam bulan terakhir, banyak peristiwa yang menunjukkan kepanikan Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Sebagai presiden, berkali-kali dia memarahi menterinya secara terbuka, karena dinilai gagal mengendalikan harga. Sebelumnya dia melansir isu kudeta yang membikin banyak orang bertanya-tanya.
Lalu, ikut-ikutan mengecam FPI secara terbuka. Padahal sepanjang berkuasa, SBY tak pernah sebut nama organisasi yang banyak dikritik ini. Alih-alih mendapat apresiasi, SBY malah jadi olok-olok pemimpin FPI. Akibatnya, pejabat Mabes Polri kini sibuk mencari pasal untuk menjerat orang itu.
Nah, hari ini, SBY kembali bikin kejutan: mengangkat Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi untuk menggantikan Achmad Sodiki yang habis masa jabatannya 16 Agustus nanti. Memang menjadi hak presiden untuk mengangkat tiga hakim konstitusi yang berasal dari pemerintah.
Namun karena masa lalunya, pengangkatan orang yang pernah menjadi Menteri Hukum dan HAM, anggota DPR Komisi III, dan anggota DPP PAN, itu menjadi pertanyaan banyak orang.
Pertama, Patrialis adalah pejabat gagal. Ketika memimpin Kementerian Hukum dan HAM, banyak masalah yang jadi gunjingan lamban menyiapkan rancangan undang-undang, membiarkan tersangka koruptor kabur ke luar negeri, mempersilakan terpidana bikin "kamar hotel" di penjara, hingga memberi remisi terpidana koruptor. SBY pun tak berpikir panjang untuk mencopot jabatannya.
Kedua, Patrialis sudah dua kali mencalonkan diri menjadi hakim MK dari unsur DPR, tetapi gagal mendapatkan persetujuan. Pada 2008 dia kalah bersaing dengan Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD dan Akil Mochtar. Pada 2013 dia sempat mengajukan diri menggantikan Mahfud MD, namun dia mundur di tengah jalan. Dengan kata lain, SBY sesungguhnya telah memilih orang "buangan" DPR.
Ketiga, Patrialis sering dipertanyakan latar belakang pendidikan hukumnya. Memang dia sarjana hukum, namun perguruan tinggi yang memberikan gelar itu sering jadi bahan gunjingan. Meskipun kini dia menyandang gelar doktor hukum dari unverstias negeri, tetap saja kesarjanaan hukumnya dipertanyakan. Padahal seorang hakim konstitusi harus paham betul soal hukum tata negara, karena kedudukannya setengah malaikat.
Selain ketiga faktor tersebut, pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi oleh Presiden SBY, kali ini menyempal dari kebiasaan. Sebelumnya, Presiden selalu membentuk tim khusus untuk memilih calon-calon hakim konstitusi dari unsur pemerintah. Tapi kali ini, tanpa ba bi bu, tiba-tiba Presiden meneken pengangkatannya. Wajar kalau orang bertanya-tanya: ada apa?
Orang luar bisa saja menghubung-hubungkan pengangkatan Patrialis sebagai kompensasi atas pencopotannya dari kabinet. Atau, pengangkatan ini adalah buah lobi Menko Perekonomian dan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa, yang tidak lain adalah besan SBY, mengingat Patrialis adalah kader PAN dan orang kepercayaan Hatta Rajasa.
Tetapi apapun yang melatarinya, pengangkatan Patrialis merupakan langkah pertama presiden yang dapat mendegradasi Mahkamah Konstitusi. Sebab, selain KPK, MK adalah lembaga produk reformasi yang disegani. Marwah lembaga ini sangat tinggi.
Masih banyak orang hebat, berintegritas dan bereputasi baik, yang pas menjadi hakim konstitusi. Sebagai pemimpin yang mengikuti disiplin intelektual, SBY pasti tahu orang-orang itu. Tetapi mengapa dia memilih jalan penuh risiko? Apakah ini buah dari kepanikan dalam memperbaiki kinerja pemerintah menjelang berakhirnya masa jabatan?
Maklum, saat ini SBY bukan hanya seorang presiden yang harus memimpin pemerintahan, tetapi juga seorang ketua umum partai yang tengah mengejar sukses Partai Demokrat dalam Pemilu 2014.