Pemerintah daerah persulit bangun rumah susun
Pemerintah tahun ini berfokus membangun rumah susun bagi pekerja.
Rencana pembangunan rumah susun sewa digencarkan sejak Wakil Presiden Jusuf Kalla menjabat. Kala itu, pemerintah pusat yakin seribu menara rumah susun dapat dibangun.
Bahkan, selain rusunami bagi masyarakat kelas bawah atau berpenghasilan rendah, pemerintah membangun dan meminta swasta mewujudkan rumah susun milik dengan harga Rp 144 juta per unit. Tetapi target itu tidak kesampaian. Baru beberapa pekan lalu, Perumnas kembali meletakkan batu pertama pembangunan kembali rumah susun subsidi di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Menurut Kementerian Perumahan Rakyat, melesetnya proyek seribu menara lantaran tidak ada sokongan dari pemerintah daerah. Bahkan mereka mengeluarkan aturan mempersulit masyarakat miskin mendapatkan rumah.
Berikut petikan wawancara Alwan Ridha Ramdani dan Islahuddin dari merdeka.com dengan Deputi Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat Pangihutan Marpaung di ruang kerjanya, Rabu (10/3).
Apa kendala program rusunawa terbengkalai sampai saat ini?
Mungkin saya ceritakan kronologinya. Ketika Marunda dibangun ada kebijakan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Pekerjaan Umum untuk memindahkan mereka yang menghuni kolong tol. Pemerintah DKI menyiapkan tanah di Marunda.
Saat rumah susun itu dibangun, ternyata di sana (kolong tol) ada fasilitas listrik, ada iuran kebersihan dan keamanan. Dengan membayar itu, warga merasa berhak tinggal di situ. Mereka juga sudah terlanjur membuka lahan dan berkebun di pinggir jalan tol.
Nah, saat melakukan sosialisasi, mereka keberatan karena di sana (Marunda) tidak ada apa-apa. Tidak ada sekolah, pasar, puskesmas, transportasi sulit, rumah susunnya kosong, tidak ada furnitur. Mereka akhirnya tidak mau.
Pada sisi lain, pemerintah DKI punya kebijakan penghuni rumah susun berhak tinggal hanya yang memiliki KTP DKI. Ini menjadi kendala di lapangan. Ketika sebagian kecil rumah susun di Marunda diisi, sebagian besar itu kosong. Kita bangun lima menara di sana dan PU enam menara, akhirnya dijarah orang, rusak. Kemudian disepakati rumah susun diserahkan ke pemerintah provinsi DKI, tapi tolong diperbaiki.
Berapa jumlah yang mengajukan pembangunan rusunami di Jakarta?
Sekitar 30 persen dan itu bukan rusunami murni. Ada yang menetapkan harga di atas Rp 144 juta. Tapi maksud saya, saat ganti peraturan itu kacau, apalagi di lapangan ada sanksi penyegelan dan denda retribusi IMB.
Kita waktu mengeluarkan aturan rusunami akan dibantu prasarana dan sarana, Rusunami akan dibantu Pph dari lima persen jadi satu persen. KPR-nya juga akan dibantu, pengembang menganggap tidak menarik. Tetapi begitu diberikan kelonggaran KLB enam lantai, baru mereka tertarik.
Bagaimana perkembangan dari pembangunan rusunawa?
Jadi saat swasta mau membangun, begitu rumit. Harus mengajukan IMB, amdal (analisa mengenai dampak lingkungan), dan segala macam, orang kapok bangun. Begitu rumit, begitu biaya tinggi, begitu tidak pasti.
Rusunawa dibangun oleh dana APBN di banyak daerah, pemerintah daerah memungut retribusi. Padahal menurut undang-undang retribusi daerah, tidak membayar dan ada surat dari Kementerian Dalam Negeri. Tetapi faktanya di lapangan, misalnya Kodam, saat akan bangun rumah susun harus bayar sampai Rp 60 juta ke pemerintah daerah.
Itu surat sudah diprotes?
Sudah, kita sudah mengirim surat ke pemerintah daerah, kita lampirkan surat dari menteri dalam negeri. Kita undang mereka datang ke sini, kita tunjukkan undang-undangnya tetapi peraturan daerah setempat tidak mengacu pada undang-undang pajak dan retribusi daerah. Padahal, kalau peraturan daerah melanggar, bisa dibatalkan oleh menteri dalam negeri.
Jadi selama ini pemerintah tidak peduli?
Dulu sebelum gubernur DKI diganti oleh Jokowi, 2006 kita ada program seribu menara. Kita minta ke gubernur ketika itu supaya diterbitkan aturan mempermudah perizinan, diterbitkan KLB sampai enam lantai. Rusunami langsung gencar. Ada 728 lebih pengajuan rusunami dan 60 persen di DKI. Sebagian menggunakan dana swasta selain APBN.
Artinya pembangun rumah susun harus ada sinergi?
Harus sinergi dan ada kepedulian dari pemimpin. Kalau tidak peduli tidak bagus juga.
Jadi apa yang bikin orang Jakarta sekarang mau pindah ke rumah susun?
Kita hanya bilang pada Pak Jokowi, kembalikan aturannya ke zaman Pak Sutiyoso. Itu saja, sederhana. Tapi Pak Jokowi juga minta tolong dibantu dengan Permenpera yang menyampaikan Koefisien Luas Bangunan (KLB) dan ada sanksinya. Padahal, sudah ada Permemendagri nomor 74 tahun 2007 yang mendukung daerah.
Bagaimana program rumah susun sewa tahun ini?
Untuk 2013, kita akan membangun rumah susun khusus pekerja, lebih pada pekerja lajang. Dengan asumsi setiap unit diisi empat orang akan lebih murah bayarnya per orang. Katakanlah Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu per bulan.
Rumah susun untuk lajang akan ditempatkan di dekat tempat dia kerja. Kita punya program di Rawa Bebek. Tadinya kita punya program di Daan Mogot, tetapi tanahnya belum siap. Di Rawa Bebek akan dimulai peletakan batu pertamanya tahun ini untuk enam menara rumah susun. Rumah susun ini bisa dihuni 600 pekerja lajang, menggunakan dua lift.
Tanahnya disiapkan pemerintah DKI, kemudian bangunannya kita siapkan beserta perlengkapan dan prasarananya, dan nanti pengelolaannya oleh pemerintah DKI Jakarta. Ini juga akan dibangun di kota lain, seperti Semarang, Jawa Tengah. Kita bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan Kota Bandung, Jawa Barat. Ini kelanjutan MoU di Hotel Sultan dengan gubernur se-Jawa.