Pemerintah harus tunduk pada negara
Di Indonesia saat ini, kekuasaan pemerintah nyaris mutlak.
Dalam perdebatan terkait kondisi karut marut akhir-akhir ini, banyak yang mencemaskan bahwa Indonesia akan terjerembab menjadi negara gagal. Berbagai tuntutan perbaikan diajukan, seperti perlunya pemimpin yang kuat, terutama dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Bahkan, dalam sebuah talk show di televisi, mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie berkesimpulan diperlukan pemimpin yang otoriter, tapi harus baik.
Boleh jadi, hal tersebut adalah reaksi terhadap kepemimpinan saat ini yang dianggap lemah. Intinya, hampir semua suara menginginkan munculnya figur semacam "ratu adil" yang diharapkan mampu membawa perbaikan paripurna bagi bangsa ini. Tak ada yang salah dari harapan tersebut.
Namun, sejarah mencatat bahwa pemimpin kuat (baca: otoriter) yang membawa perubahan (positif, maupun negatif), biasanya menyebabkan anomali sistemik. Sepeninggalnya, seringkali terjadi gelombang pembalikan atau, sebaliknya, "nostalgia" terhadap kondisi saat kepemimpinannya. Pemerintah menjadi lebih kuat dibandingkan negara yang diwakili oleh konstitusi dan UU.
***
Sewaktu berkunjung ke Berlin baru-baru ini, saya mondok di rumah Pipit Kartawidjaja, seorang teman lama yang getol mengkampanyekan netralitas birokrasi. Ia adalah penulis buku "Pemerintah Bukanlah Negara" (Henk Publishing, 2006). Pipit, adalah warga negara Indonesia yang berkesempatan selama kurang lebih 20 tahun bekerja sebagai "Angstellter" (abdi negara non-PNS dalam birokrasi) Negara Bagian Brandenburg, Jerman.
Pengalaman unik ini, membuatnya menjadi salah seorang TKI yang layak menjadi narasumber dalam bidang administrasi negara. Cukup banyak UU terkait administrasi negara Indonesia yang merupakan "terjemahan" atau setidaknya mengacu pada perundang-undangan Jerman.
Di Jerman, birokrasi negara bukanlah birokrasi pemerintah, karena pemerintah bukan negara. Dalam pemahaman seperti itu, birokrasi negara menjadi abdi negara dan publik dan sepenuhnya tunduk pada konstitusi dan UU serta turunannya. Bukan kepada representasi pemerintahan, seperti presiden, para menteri, pemimpin daerah, legislatif dan semua pimpinan dan elit yang terpilih lewat Pemilu.
Bila tidak, birokrasi akan menjadi alat politik pemerintah yang sedang berkuasa. Ketika pemerintahan berganti, birokrasi pun akan terombang-ambing. Daniel S Lev, pakar Indonesia dalam pengantar buku tersebut, sepakat bahwa yang menentukan ialah negara dan hukumnya, bukan pemerintah.
Lembaga-lembaga negara termasuk pengadilan, kejaksaan, kepolisian, kementerian, militer dan berbagai badan penting seperti BPK, BPS dan lainnya, seharusnya tunduk pada prinsip dan aturan negara, bukan mendahulukan keinginan pemerintah.
***
Memang sejak berlakunya sistem presidensial pada tahun 1959, terjadi perangkapan jabatan bagi presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sebelum itu, pada masa sistem parlementer 1945-1959, perbedaan antara negara dan pemerintah relatif jelas.
PNS adalah pegawai negara yang netral –terhadap pemerintah, dari aliran politik yang ada– dengan tugas utama melayani publik berpatokan pada konstitusi dan UU yang berlaku. Namun, sejatinya persoalannya tidak terletak pada sistem yang dianut, melainkan cara untuk memaksakan pemerintah dengan sistem apapun agar tunduk pada prinsip-prinsip negara.
Berbeda dengan Indonesia saat ini, ketika kekuasaan pemerintah nyaris mutlak. Sepakat dengan Pipit, Emha Ainun Nadjib, misalnya, menyebut "negara berada dalam genggaman tangan pemerintah".
Kas negara, konon telah menjadi kas pemerintah, saham negara menjadi saham pemerintah, bank negara menjadi bank pemerintah, universitas negara menjadi universitas pemerintah dan seterusnya. Belum lagi, istilah seperti bantuan presiden, menteri atau gubernur dan lainnya, yang sebenarnya menggunakan uang negara.
Banyak contoh yang dibeberkan Pipit berdasarkan pengalamannya bekerja sebagai TKI di Jerman, menyangkut pemisahan negara dengan pemerintah. Ia sangat yakin, bahwa hal tersebut dapat memecahkan berbagai persoalan menyangkut HAM, KKN, pemerintahan yang bersih termasuk mendudukkan publik atau rakyat sebagai raja, sekaligus menempatkan PNS sebagai abdi Negara dan publik. Semoga!
* Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Ide (Institute for Democracy Education)