Pencinta Soekarno dizalimi Soeharto
Dia di penjara karena membuat buku tentang dosa Soeharto
Lelaki tua itu duduk di bangku depan pintu masuk kediamannya. Di depannya, ada Epon Jamilawati, istrinya. Rumah mereka berada di sebuah Gang wilayah perumahan lumayan besar di Jalan Poltangan III, Gang Jambon, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Mungkin banyak tak mengenal siapa lelaki berusia 83 tahun itu. Dialah Profesor Doktor Wimanjaya Keeper Liotohe.
Namanya sudah menjadi perbincangan sejak dua dekade lalu. Bukan tanpa sebab, ketika meluncurkan sebuah buku berjudul Primadosa tahun 1993, dia diburu penguasa. Wiman dipenjarakan setelah membuat buku yang sempat beredar terbatas. Buku itu diluncurkan di Den Haag, Belanda. Wiman mencatat dosa mendiang Presiden Soeharto lewat bukunya berjudul Primadosa. Karena itu juga Wiman sempat disebut 'Orang Sinting' oleh Presiden Soeharto saat itu.
"Berawal dari penggusuran rumah saya di Kuningan, sejak saat itu saya mulai membenci Soeharto," ujar Wimanjaya saat berbincang dengan merdeka.com di kediamannya Selasa siang kemarin.
Dia pun menuturkan runut kronologi penggusuran itu. Awalnya kata Wiman, rumahnya dulu terletak di daerah Kuningan yang kini berubah menjadi perumahan Patra Jasa. Tidak besar. Hanya dua tingkat dengan luas tanah 250 meter persegi. Namun karena ada proyek pembangunan Kuningan, kediamannya mau tak mau harus digusur.
Ini bermula dari pembayaran ganti rugi disepakati. Rumahnya saat itu dihargai Rp 2,6 juta. Wiman kemudian menuju kantor Walikota untuk menandatangani perjanjian ganti rugi itu. Dia menorehkan tinta di atas kuitansi sebanyak lima lembar. Kuitansi itu ditumpuk menjadi satu. Seingatnya hanya tiga bertuliskan harga, sedangkan dua lagi tidak ada keterangan soal ihwal harga ganti rugi.
Usut punya usut, Proyek itu rupanya dikerjakan oleh Keluarga Cendana. Ibu Tien menurut Wiman menjadi salah satu pengembang buat kawasan itu. "Ternyata ganti rugi saya hanya dibayar Rp 1,3 juta," tutur Wiman. Karena merasa di bohongi, Wiman mempertanyakan soal ihwal jumlah ganti rugi tak sesuai kesepakatan. Dia kemudian datang ke kantor Walikota Jakarta Selatan untuk menemui juru bayar atas penggusuran tanah di wilayah kuningan.
Namun keluhan Wiman tak ditanggapi. Dia malah disuruh pulang oleh juru bayar. Buntutnya Wiman mengunjungi dua kantor media massa. Koran Nusantara milik Rosihan Anwar salah satunya. Kepada media itu, Wiman menuturkan jika dia kena tipu ihwal ganti rugi itu. Buntutnya, berita di koran itu membuat juru bayar dengan orang bayaran marah.
Sehari setelahnya, dalam perjalanan pulang Wiman dicegat oleh sebuah Mobil Jeep. Isinya tiga orang. Satu juru bayar dan dua orang menurut Wiman adalah salah satu anak petinggi. Wiman saat itu dipukuli karena ceritanya kepada media. Buntutnya, Wiman dibawa ke dalam mobil. Ada rencana dia bakal dihabisi. Namun dalam perjalanan, dia berhasil lolos saat mobil yang membawanya singgah di Kuburan Menteng Pulo.
"Saya loncat dan terus berlari zig zag," ujarnya. "Itu untuk menghindari jika dia bakal di tembak"
Kebenciannya terhadap Soeharto memang sudah terbentuk Wiman sejak penggusuran kediamannya itu. Buntutnya pada hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Wiman berpidato di depan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang banyaknya pelanggaran Hak Asasi Manusia terjadi di Indonesia. Era Presiden Soeharto. Buntut pidato itu Wiman ditegur oleh teman sekolahnya saat SMA di Malang. Dia diancam bakal ditembak mati oleh sniper saat turun dari pesawat di Bandara International Soekarno Hatta.
Tak kehilangan akal. Dia mengganti rute penerbangan. Kepada agent travel saat itu Wiman mengganti rute penerbangannya dari Jenewa menuju Singapura melalui Pakistan. Turun sari Singapura dia menyewa perahu ke Batam. Kemudian dia menyewa perahu lagi menuju Pekan Baru. Dari sana Wiman kemudian naik bus ke Jakarta. "Saya hanya bawa koper," kata Wiman.
Dia juga menceritakan, saat dia pidato itu, Tokoh Gerakan Aceh Merdeka, Hasan Tiro dan Presiden Timor Leste Ramos Horta memeluknya. "Dia bilang hebat, tetapi kamu bisa mati," ujar Wiman mengingat pesan dua tokoh itu.
Dua bulan setelahnya, Wiman kemudian meluncurkan buku Primadosa di Balai Kota Amsterdam. Pemilihan tempat itu dia lakukan mengingat buku yang dia buat memang bakal mengancam nyawanya jika diluncurkan di Jakarta. Namun peluncuran buku itu bocor. Saat bedah buku di Balai Kota Amsterdam itu, ada intelijen Indonesia mengirim naskah buku itu ke Jakarta. Menurut Wiman, buku itu sampai di tangan mendiang Suhardiman pendiri Partai Golkar yang pada saat itu menjabat Ketua Umum Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong.
Dan buku itu sampai ke tangan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Soedomo. Dari Soedomo buku itu kemudian dibaca Presiden Soeharto. Reaksi, Presiden Soeharto marah besar. Di hadapan para perwira ABRI, Soeharto menyebut jika ada seseorang yang ingin melawan Pancasila. Dia lah Wimanjaya. "Saya di cap gila," kata Wiman. Namun buntut kemarahan itu tak sampai memenjarakan Wiman. Tetapi Wiman bolak balik diperiksa militer saat itu. Bahkan ada 12 jenderal ikut memeriksanya karena peluncuran buku itu.
Hingga akhirnya Wiman benar-benar di penjara. Kejadiannya tahun 1996 sebelum Presiden Soeharto jatuh. Saat itu Wiman mencalonkan diri sebagai Presiden untuk Pemilihan Umum 1997. Dukungannya diperoleh dari beberapa tokoh independen. saat itu mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin didesak untuk maju, namun dia menolak. Kemudian juga ada mendiang Adnan Buyung Nasution, Adnan juga menyatakan tidak bersedia. Hingga akhirnya nama Wiman disebut, dengan lantang dia menyetujui dukungan itu.
Berbekal dukungan itu, Wiman kemudian bertolak ke kampung halamannya di Sulawesi. Di sana dia meminta restu kepada orang tuanya untuk mencalonkan diri menjadi presiden. Namun baru saja meminta restu, kediaman orang tuanya sudah dipenuhi Polisi dan Tentara dengan menggunakan sepeda motor dan Jeep. Wiman dibawa ke Jakarta. Dia kemudian ditahan di Mabes Polri karena buku yang pernah dia buat, Primadosa, Primadusta dan Primaduka.
Wiman harus mendekam dibalik jeruji besi selama dua tahun. Ia di bebaskan sebulan sebelum Presiden Soeharto lengser. Kemudian Wiman menggugat pelarangan atas pembuatan buku yang dikeluarkan Jaksa Agung era Soeharto. Pada tahun 2001 gugatannya dikabulkan. Wiman terbukti tidak bersalah. Karena merasa dirugikan dengan pembuatan buku yang tidak melanggar undang-undang, Wiman kemudian menggugat Jaksa Agung pada tahun 2014. Dia menuntut Kejaksaan agar mengganti rugi atas penahannya selama dua tahun. Wiman menggugat Rp 126 miliar.
Gugatannya dimenangkan pada Agustus tahun lalu. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatannya sebagian. Wiman memperoleh ganti rugi sebesar Rp 1 miliar. Namun uang itu hingga kini belum dibayar oleh negara karena Kejaksaan melakukan banding di Pengadilan Tinggi. "Saya akan lawan sampai kapan pun," ujar Wiman.