Permainan berbahaya di Yaman-2
Perang di Yaman akibat permainan isu sektarian ini makin meluas lantaran keterlibatan AS dan Inggris.
Saya sengaja mengulang judul tulisan saya pada 16 Februari lalu untuk kolom saya kali ini karena perkembangan permainan isu yang melandasi konflik di Yaman saat ini yaitu isu sektarian Sunni-Syiah makin menonjol dan mengemuka.
Koalisi Arab Saudi dan sembilan negara Muslim Sunni lain: Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar dan Bahrain (Oman menolak bergabung), Pakistan, Maroko, Yordania dan Mesir telah melakukan serangan udara di berbagai kota yang dikuasai kelompok Syiah Houthi dan telah
menimbulkan korban. Ini sebagai reaksi gencarnya serangan Houthi yang mengejar presiden Yaman, Abed Rabbo Mansour Hadi yang telah mereka kudeta ke tempat
pelariannya di kota Aden, Yaman bagian selatan.
Koalisi itu dengan dukungan logistik dan intelijen AS menegaskan, bahwa Yaman tidak akan berhenti dibombardir sampai presiden Hadi bisa memerintah Yaman kembali. Agresi militer Saudi dan sembilan negara lainnya telah memasuki hari kelima pada Senin ini (30/3).
Keputusan untuk terus menggempur Yaman disampaikan pemerintah Arab Saudi pada Minggu kemarin. Mereka bertekad memerangi milisi Syiah Houthi yang oleh koalisi Teluk dianggap sebagai sekutu utama Iran. Pihak Teheran yang membantah membantu Houthi telah mengutuk agresi militer tanpa henti itu.
Konflik internal di Yaman yang sebelumnya oleh para pengamat dinilai sebagai proxy war antara Iran dan Arab Saudi, dengan telah turun tangannya Arab Saudi, telah berubah dan meningkat skala dan aktornya. Ini karena Liga Arab yang bertemu di Mesir minggu lalu juga
telah memberikan dukungan dan bahkan akan membentuk pasukan gabungan.
Iran yang merasa dikeroyok oleh negara-negara Sunni tentu saja merasa terpojok dan marah. Seorang anggota parlemen Iran, Ali Reza Zakani telah mengancam bahwa revolusi di Yaman tidak akan berhenti di Yaman saja namun akan dikembangkan sampai wilayah Saudi, dan penduduk provinsi Timur Saudi akan memimpin revolusi itu. Dia bahkan menyatakan bahwa apa yang terjadi di Yaman saat ini tak lain adalah “kelanjutan secara alamiah“ revolusi Iran“ dan 14 dari 20 propinsi di Yaman akan dikuasai Houthi.“
Digraban, sebuah website Pengawal Revolusi Iran mengutip seorang angotanya, Saad Al-Din Zarei, menyatakan : “bisik-bisik terdengar makin kencang tentang akan hadirnya tentara Pengawal Revolusi di dalam Kerajaan Arab Saudi“. Ini tentunya ancaman langsung kepada Riyadh.
Memainkan isu sektarian memang sangat berbahaya dan ini telah dikecam oleh tokoh aktivis dan intelektual Saudi, Dr. Madawi Al-Rashid melalui akun twitter-nya dengan menyatakan bahwa Arab Saudi memerlukan pendekatan baru dalam politik luar negerinya yang
mendorong duduk bersama untuk berdialog dengan kekuatan-kekuatan regional seperti Iran dan Turki bukan hanya dengan koalisi Sunni saja. Bermain koalisi seperti itu ia nilai akan gagal karena politik tidak bisa hanya didasarkan pada konflik Sunni-Syiah saja.
Bahaya makin meluasnya perang di Yaman akibat permainan isu sektarian ini selain berupa perambahan menjadi konflik regional juga kemungkinan konsekuensi internasional yang sulit diramalkan mengingat adanya keterlibatan atau dukungan AS dan Inggris.
Selain dukungan intelijen dan logistik, pengumuman serangan koalisi pimpinan Arab Saudi yang dilakukan oleh Dubes Saudi untuk AS di Washington pada 25 Maret menunjukkan bahwa pemerintahan Obama bisa jadi sangat terlibat dalam serangan itu melebihi dukungan yang diumumkan secara resmi.
Selain itu sandi serangan ke Yaman yang bernama “Storm of Resolve” mengingatkan kembali pada operasi gabungan yang melibatkan pasukan darat AS dan Arab Saudi yaitu
“Operation Desert Storm” tahun 1991 yang mengusir tentara Saddam Husein dari Kuwait. Sementara itu Inggris meski masih menyebut pentingnya solusi secara politik tapi telah secara gamblang memberikan dukungan intervensi militer Arab Saudi di Yaman dengan segala cara dan langkah untuk melawan agresi Houthi.
Persoalannya apakah isu sektarian yang telah melandasi konflik kali ini merupakan isu tunggal atau ada isu lain seperi isu ekonomi misalnya. Orang patut menduga bahwa bila Aden jatuh ke tangan Houthi sekaligus dengan selat strategis Bab al-Mandabnya yang merupakan jalur lintas minyak dari Terusan Suez, maka tiga perempat wilayah Yaman akan jatuh ke milisi Houthi dan menjadi ancaman keberlangsungan ekspor minyak kerajaan
Saudi.
Betapapun solusi militer yang tergesa-gesa saat ini dan dibaikannya jalan dialog berpotensi memperluas konflik dan bukan sebaliknya, dan permainan isu sektarian adalah permainan yang sangat berbahaya mengingat penganut kedua aliran itu tak hanya ada di Yaman.