Rebutan kursi tiada henti
Letoynya pemerintahan SBY tak hanya soal kebijakan yang tak didukung partai koalisi, tetapi juga oleh rebutan kursi.
Keributan antarpartai koalisi pemerintahan SBY, sesungguhnya bukan hanya pada soal BBM dan Bank Century. Banyak hal lain yang bisa menjadi penanda: pornografi, jaminan sosial, otoritas jasa keuangan, tembakau, pengaturan pemilu, dll.
Karena isu-isu tersebut tidak melibatkan amarah massa, maka rencana kebijakan pemerintah SBY yang ditentang oleh partai-partai koalisi itu tidak mengguncang pemerintahan. Namun, sikap partai-partai koalisi yang berbeda-beda itu, jelas menganggu efektivitas pemerintahan SBY, baik saat bersama Kalla maupun Boediono.
Bagaimana tidak, pada saat seluruh tenaga pemerintah dikerahkan untuk menghadapi berbagai masalah ekonomi sosial, koalisi pemerintah malah bertikai sendiri. Akibatnya, situasi politik keamanan yang kondusif, gagal dimanfaatkan secara maksimal untuk memompa pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
Selain keriuhan pengambilan kebijakan, ketidakefektifan pemerintahan SBY juga disebabkan oleh perebutan kursi kabinet yang terjadi hampir sepanjang lima tahun pemerintahannya. Pertama, ini disebabkan oleh keputusan politik SBY untuk mengevaluasi kinerja para menterinya; kedua, partai-partai politik juga merasa tidak mendapatkan jatah yang adil.
Saat membentuk Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) pasca-Pilpres 2004, SBY-Kalla membutuhkan waktu berbulan-bulan. Proses pembentukan kabinet sudah dilakukan sejak hasil pilpres putaran kedua diketahui pada Agustus hingga pelantikan pada Oktober 2004. Bahkan hampir dua bulan setelah pelantikan, kabinet belum terbentuk.
Tarik-menarik antarpartai demikian kuat dan komposisi kabinet tidak memuaskan. Perhatikan komposisi KIB I: PD dapat 2 kursi, PG (2), PP (2), PKS (3), PAN (2), PKB (2), PBB (2) dan PKPI (1). Komposisi ini jelas merugikan PG, karena jatahnya tidak seimbang dengan jumlah kursinya di DPR.
Sementara, partai lain menganggap wajar PG hanya mendapat jatah 2 kursi, karena selain memiliki kursi wakil presiden, juga terlambat bergabung dalam koalisi. Namun PG yang merasa menjadi bemper kekuasaan di parlemen, merasa tidak sepadan jatah kursi kabinetnya.
Hal inilah yang membuat PG tidak terlalu taat pada garis koalisi. Karena sering bikin ulah, SBY akhirnya mengalah, sehingga pada reshuffle kabinet pertama kursi PG ditambah. Di sini nama Paskah Suzetta masuk menggantikan posisi Menteri Negara PPN/Bappenas Sri Mulyani yang geser ke menteri keuangan.
Penambahan itu rupanya belum cukup, sehingga pada reshuffle kabinet kedua, jatah kursi PG ditambah 1 lagi menjadi 4. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin yang dianggap mewakili profesional, dicopot dan kursinya diberikan kepada Andi Mattalatta. Setelah ini, PG relatif tenang dan tidak banyak bikin masalah dalam koalisi.
Jika pada pemerintahan SBY-Kalla, PG sering dianggap sebagai biang utama keributan koalisi, pada pemerintahan SBY-Boediono predikat itu melekat pada PKS. Pertama, hal ini terlihat dari sikap keras PKS dalam skandal Bank Century; kedua, kader-kader PKS di DPR kerap bersuara lantang menentang rencana kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu, memasuki tahun kedua periode kekuasaannya, SBY hendak mengeluarkan PKS dari kabinet pada saat melakukan evaluasi KIB II tahun lalu. Saat itu SBY mendekati PDIP agar mau bergabung dalam kabinet. Meski Taufik Kiemas menyatakan setuju, namun Megawati tetap berkukuh dalam oposisi.
Gagal mendekati PDIP, SBY beralih ke Partai Gerindra. Lagi-lagi gagal, karena Partai Gerindra minta jatah 2 kursi, sementara SBY hanya menawari 1 kursi. Satu kursi itu pun bukan kursi yang diinginkan Prabowo.
Kini, setelah PKS bikin ulah dalam perumusan kebijakan BBM, muncul desakan agar SBY mengeluarkan PKS dari koalisi. Namun hal itu tidak mudah dilakukan selama SBY belum punya pengganti PKS sebagai partai pendukung pemerintahan.