Semua desa di perbatasan masih tertinggal
Kata Marwan, menteri sebelumnya nggak kerja.
Sudah dua bulan Marwan Jafar menjabat Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Posisi boleh dibilang sesuai pengalamannya.
Sejak didapuk menjadi menteri, politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa ini mengaku langsung mengerjakan semua program. Marwan juga salah satu konseptor Rancangan Undang-undang Desa. "Iya memang. Itu betul, saya tidak berbohong," kata Marwan saat ditemui Senin pekan lalu di kantornya, Jalan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Di sela kepadatan jadwalnya, dia memberikan waktu untuk wawancara khusus. Dia menjawab semua pertanyaan sambil mengisap sebatang rokok putih.
Berikut penuturan Marwan kepada Arbi Sumandoyo, Pramirvan Datu Aprilatu, dan juru foto Imam Buchori dari merdeka.com.
Apa akan Anda lakukan dalam lima tahun ke depan?
Ini kita sudah cepat. Semua program sudah kita luncurkan. Semua perencanaan, revisi anggaran, dan perangkat-perangkat lain sudah kita buat. Termasuk kita resmikan tadi, sistem informasi desa online.
Program ini bisa mengakses semua desa?
Semua desa bisa diakses sepanjang sistem online-nya ada di daerah-daerah. Kalau daerah-daerah terpencil belum ada BTS otomatis agak sulit.
Apa yang sudah Anda kerjakan selama dua bulan menjabat?
Sudah ini, sudah mulai. Kemudian saya sudah menginstruksikan kepala desa untuk membikin Badan Usaha Milik Desa (BUMDES). Bayangkan selama ini baru ada empat ribu BUMDES dari 17 ribu desa.
Berapa target untuk membangun BUMDES?
Target saya 2015 sudah membangun lima ribu BUMDES.
Apa ini merupakan pekerjaan dari menteri sebelumnya?
Era sebelumnya nggak kerja. Masak, dari dulu sejak ada Kementerian Dalam Negeri cuma ada empat ribu BUMDES. Ini kan awalnya di Kementerian Dalam Negeri, kemudian bergabung dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal.
Apa gebrakan Anda lakukan?
Saya bikin nawa kerja, itu di ambil dari nawa cita. Saya bikin masing-masing lima ribu desa mandiri, BUMDES, pasar desa, Sistem online, dan struktrur pedesaan.
Itu target tadi dibilang untuk tahun depan?
Iya, 2015 untuk jangka pendek.
Bagaimana Anda memantau program itu?
Dengan adanya sistem online begini, saya sudah bisa berkomunikasi langsung dengan kepala-kepala desa di Kecamatan Cipanas, Cianjur. Jadi kita bisa langsung kontrol lewat e-blusukannya Kementerian Desa.
Itu untuk memantau daerah tidak terjangkau?
Iya, kita kontrol langsung dengan menggunakan video call. Kalau kebetulan saya ada jadwal keluar kota, kita blusukan ke desa-desa, daerah-daerah tertinggal, daerah-daerah transmigrasi. Kan, nggak mungkin 74.000 desa dikunjungi semua. Nggak masuk akal. Maka paling efektif adalah lewat video call. Tadi sudah kita lakukan.
Apakah ide awal pembuatan UU Desa itu benar dari PKB?
Iya memang. Itu betul, saya tidak berbohong. Ketika pimpinan dewan menyurati fraksi-fraksi untuk mengusulkan lima prioritas undang-undang, tidak ada satu fraksi atau partai pun mengusulkan RUU Desa. Kami mengusulkan RUU Desa.
Bagaimana kelanjutannya saat itu?
Kan terus bergulir toh (dengan logat Jawa kental). Harus masuk di Prolegnas dulu, kemudian Bamus, Pansus, dan pembahasan. Tapi sebagai inisiator pertama itu hanya PKB.
Artinya UU Desa dengan anggaran Rp 1,4 miliar per desa itu juga salah satu upaya PKB?
Justru melakukan itu. Kita usulkan sejak awal adalah sepuluh persen dari total anggaran APBN. Kalau total APBN Rp 2.000 triliun seperti sekarang, anggran desanya Rp 200 triliun. Tapi ini sepuluh persen bukan dari APBN secara keseluruhan, namun diambil dari dana transfer daerah.
Tapi waktu itu pengajuannya memang sepuluh persen dari APBN?
Ya, sepuluh persen dari APBN. Kalau sekarang bukan sepuluh persen dari APBN secara keseluruhan karena pemerintah tidak setuju. Sekarang itu adalah sepuluh persen dari dana transfer daerah nilainya saat ini Rp 700 triliun. Jadi, diambil sepuluh persennya.
Bagaimana soal alokasi dana itu ke desa-desa?
Dana dari sini (pusat) kemudian masuk APBD kabupaten. Itu mekanismenya. Gubernur, bupati, camat, kepala desa, sudah kita kirimi surat edaran bagaimana tata caranya. Lalu ada fasilitator dan pendamping akan memberikan tiga arahan. Pertama, bagaimana mengelola uang secara transparan dan bertanggung jawab. Kedua, bagaimana menyusun program desa. Ketiga, bagaimana peningkatan kualitas sumber daya aparatur desa sekaligus penguatan kelembagaannya.
Kapan dana buat desa itu terwujud?
Ini kan masih ada waktu, mulai Januari sampai April.
Artinya tahun depan sudah mulai kerja keras?
Ya, artinya akan mulai latihan untuk penguatan kelembagaan desa, melatih aparatur desa sekaligus menyiapkan laporan, menyusun program. Makanya desa-desa tidak membuat RPJMDES maupun RKPDES, tidak akan kita kucurkan dananya. Artinya mereka belum siap dana pembangunannya.
Dana Rp 1,4 miliar itu akan digelontorkan per desa sekaligus?
Per desa tapi secara bertahap.
Ada berapa tahap?
Tergantung kita dikasihnya berapa lama sama Bappenas. Saya ajukan maksimal tiga tahun selesai karena bertahap. Kemarin ini setelah pidato presiden cuma 9,7 persen. Itu artinya dibagi 73 ribu desa cuma Rp 120 juta per desa. Kurang kan. Makin gede kita kirim, target cepat tercapai.
Artinya butuh dana besar untuk itu?
Ya dan harus ada kemauan politik dari pemerintah untuk keleluasaan dana pada Kementerian Desa.
Sejauh ini pemerintah bagaimana?
Kita semua harus komitmen karena semuanya bagian dari nawacita kerja Presiden Jokowi juga. Kita mengajukan tiga tahun sudah selesai. Kita geber satu kali nggak mungkin juga, jebol APBN kita. Artinya sektor lain tidak akan dapat. Belum lagi untuk pembangunan desa dan daerah tertinggal lain. Tidak hanya dana desa tapi ada juga yang lain.
Dalam waktu dekat ini daerah mana bakal Anda kunjungi?
Kita setiap minggu kemana-mana. Kalau tidak ada urusan di Jakarta kita pasti akan keliling. Kita urus persiapan dan segala macam.
Saat dilantik Anda mengatakan akan berkantor di desa?
Kita berkantor di desa bukan berarti kita bikin kantor lagi di desa. Jadi begini. Sehari kita ke empat kantor. Bagaimana mengontrol administrasi, keuangan, aparatur, pembangunan, penggunaan anggaran desa, dan sebagainya.
Bagaimana Anda memantau dana Rp 1,4 miliar per desa itu?
Itu fasilitator. Kan ada temen-temen dari LSM Desa, para pegiat desa, semua kita rangkul. Tentu dalam rangka saling mendukung, memberikan kontribusi pemikiran, saling mengoreksi. Kan, enak begitu.
Ketika merangkul berbagai kalangan, apakah Anda yakin dana itu bisa dikelola dengan baik?
Iya dong, harus masuk ke desa sesuai ketentuan pemerintah. Tidak boleh dipangkas karena kepala desa sebagai kuasa pengguna anggaran. Kalau kepala desa melakukan sesuatu dengan kekuatan dia punya maka dia akan kena konsekuensinya. Dia akan diaudit oleh BPKP langsung karena dia sebagai kuasa penerima anggaran. Tidak seperti dulu, dana desa melalui bupati.
Artinya bupati atau camat tidak bisa mengintervensi?
Kepala desa bertanggung jawab penuh, langsung kepala desa. Nanti kita akan pantau. Makanya sistem online tadi itu untuk memudahkan komunikasi dengan kepala desa. Tinggal kita klik desa mana, kita langsung bisa tanyakan kepala desanya.
Dari 74 ribu desa, apa permasalahan harus segera diselesaikan?
Masih ada 40 persen desa tertinggal atau kurang lebih ada 32 ribu desa. Desa-desa tertinggal ini mempunyai keluhan. Pertama soal infrastruktur. Kedua soal jaringan telekomunikasi. Ketiga soal sumber daya manusia. Keempat, terisolasinya mereka itu harus dibuat konektivitas antar daerah.
Ini harus ada termasuk membangun BTS-BTS di daerah. Belum tentu semuanya bisa lihat TV loh ya. Listrik saja masih belum terjangkau.
Empat kondisi itu terjadi di desa-desa di perbatasan?
Ya, semua.