Serobot pemain lama
Pemenang frekuensi televisi digital tetap orang-orang lama dalam industri penyiaran.
Pemerintah ternyata tidak menggubris putusan Mahkamah Agung memenangkan gugatan diajukan Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATJI). Mereka ngotot ketetapan itu tidak mengubah hasil seleksi dan putusan Mahkamah Agung tidak bersifat retroaktif.
Pemerintah menjamin tim seleksi telah melakukan proses pemilihan secara transparan, objektif, dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak mengutamakan salah satu penyelenggara tertentu.
“Pengusaha jaringan belum satupun dapat kanal. Silakan saja mereka terus lanjut," kata Ketua ATJI Bambang Santoso beberapa waktu lalu dalam diskusi problematik televisi digital.
Bambang menegaskan inti dari gugatan mereka adalah soal seleksi. Mahkamah Agung menyatakan seleksi itu ilegal. “Buat saya sederhana dan aneh, kenapa pemerintah mempertahankan sesuatu yang ilegal,” ujarnya.
Dia menjelaskan dalam satu frekuensi hanya boleh ada satu lembaga penyiaran. Pemerintah saat ini selalu merasa benar dan tidak mau disalahkan. Tapi dalam proses digitalisasi penyiaran ada hak publik. “Saya tidak mengerti kenapa Kominfo seperti kejar tayang padahal tidak sedarurat itu,” tutur Bambang.
Para penguasa televisi lokal di daerah mulai mengeluh tidak ada kepastian pemerintah dalam aturan televisi digital. Bahkan, pemerintah pusat meminta mereka tidak menuntut ganti rugi. Padahal, pemegang kanal analog di daerah sangat sulit beralih ke digital karena teknologinya belum mendukung.
“Kami sudah mengeluarkan pengumuman, pemohon penyiaran untuk mengajukan izin kanal digital," tutur seorang anggota Komisi Penyiaran Independen Daerah. "Bayangkan dalam empat tahun ini TV analog harus beralih, padahal bisnis di TV daerah itu seret.”
Hasil seleksi dua tahun lalu, Kementerian Informasi dan Telekomunikasi telah menetapkan para pemenang zona layanan di zona Jakarta dan Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Mereka adalah perusahaan saat ini menguasai frekuensi publik, seperti PT Lativi Media Karya (pemilik tvOne), PT Media Televisi Indonesia (MetroTV), PT Surya Citra Televisi (SCTV), dan PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV).
Pemenang lainnya adalah PT Cakrawala Andalas Televisi Bandung dan Bengkulu (ANTV Bandung), PT Indosiar Bandung Televisi (Indosiar Bandung), PT Media Televisi Bandung (Metro TV Jawa Barat), PT RCTI Satu (RCTI Network), PT Trans TV Yogyakarta Bandung, PT GTV Dua (Global TV), PT Indosiar Televisi Semarang (Indosiar Semarang), PT Lativi Mediakarya Semarang-Padang (TV One Semarang), PT Media Televisi Semarang (Metro TV Jawa Tengah), dan PT Trans TV Semarang Makassar (Trans TV Semarang). PT Global Informasi Bermutu (Global TV), PT RCTI Sepuluh (RCTI Network), PT Surya Citra Pesona Media (SCTV Batam), dan PT Trans TV Batam Kendari (Trans TV Batam).
Hal ini berlaku pula pada zona-zona lainnya. Pemilik media televisi saat ini hanya menambahkan nama daerah dalam rebutan kanal. Dari data itu, jelas para pemenang seleksi masih para pemilik lama dengan mendirikan nama perusahaan berbeda. Padahal, menurut Amir Effendi Siregar, adanya keragaman isi siaran dan keragaman kepemilikan menjauhkan dari otoritarianisme baru, otoritarianisme kapital, monopoli, dan oligopoli oleh segelintir orang dalam dunia penyiaran.
Koordinator Divisi Penyiaran Aliansi Jurnalis Independen Dandhy Dwi Laksono mengingatkan pemerintah jangan melakukan kesalahan sama dalam pemberian frekuensi publik hanya pada kroni tertentu. “Jika satu kanal dibagi begitu saja maka kita akan mengalami problem sama dengan isi. Satu grup akan memiliki konten sama,” katanya.
Dia mengatakan migrasi analog ke digital harus memunculkan pemain lokal baru dan tidak melanggengkan oligopoli atau pemusatan kepemilikan di tangan segelintir orang atau kelompok usaha dengan alasan kesiapan modal dan infrastruktur.
Selain itu, distribusi kanal digital harus mempertimbangkan reputasi para pemegang izin frekuensi analog. “Mereka terbukti kerap menyalahgunakan frekuensi publik untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan, tidak patut mendapatkan mandat mengelola domain publik,” tutur Dandhy.