Suhu panas jelang Muktamar ke-33 NU
"(Ahwa) Itu kan ide awalnya ketika rapat pleno di Wonosobo. Waktu itu Kia Sahal masih ada," kata Said.
Rupa-rupa baliho berisi ucapan selamat dari pelbagai pihak jelang Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa Timur, itu dipacak di hampir di setiap perempatan jalan di wilayah Jawa Timur. Hajatan rapat akbar organisasi Islam terbesar di Tanah Air itu bakal digelar selama lima hati, mulai 1 hingga 5 Agustus 2015 nanti. Salah satu agenda panas adalah pemilihan rois aam dan ketua tanfidz Pengurus Besar NU (PBNU).
Sejak jauh hari, suhu panas konstelasi pemilihan rois aam dan ketua tanfidz kian terasa menjelang Muktamar NU tersebut. Penyebabnya pemilihan rois aam kali ini berbeda. Bila Muktamar sebelumnya di Makassar pemilihan dilakukan dengan cara demokratis: pemilihan langsung one man one vote, kali ini dilakukan dengan sistem musyawarah untuk mufakat atau Ahlul Halli wal Aqdi (Ahwa).
Menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, sistem Ahwa itu merupakan keputusan hasil Musyawarah Nasional NU pada 14 Juni 2015 di Jakarta. Keputusan itu sudah ditandatangani oleh seluruh peserta yang hadir, termasuk perwakilan Pengurus Wilayah NU (PWNU) di seluruh Indonesia. Apalagi, sistem Ahwa ini sudah sejak lama digodok.
"(Ahwa) Itu kan ide awalnya ketika rapat pleno di Wonosobo, waktu geliat Muktamar belum ada. Waktu itu Kia Sahal masih ada. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kegaduhan, kemudian kiai-kiai sepuh diadu-adu, kemudian campur tangan pihak ketiga, lalu untuk menghindari rasuah (suap), maka sebaiknya digunakan musyawarah untuk mufakat, Ahlul Halli wal Ahdi (Ahwa)," ujarnya ketika dihubungi merdeka.com, kemarin.
Usulan itu, Said menjelaskan, kemudian diangkat di Munas NU di Jakarta. Semua pengurus wilayah setuju dengan sistem tersebut. Dia juga membantah jika sistem Ahwa itu merupakan permainan pengurus sekarang. Menurut dia, sama sekali tidak ada rencana jahat untuk menghalangi pihak manapun untuk maju baik sebagai rois aam maupun ketua tanfidz pada Muktamar nanti.
"Wong itu diputuskan sejak Kiai Sahal masih hidup. Waktu itu Kiai Masdar, kemudian anggotanya Kiai Ishom, Kiai Asad, rapat berkali-kali kemudian disampaikan usulan itu dan diangkat di Munas kemarin," ujarnya menegaskan.
Said menduga, tentangan terhadap sistem Ahwa itu karena ada orang yang merasa terhalangi untuk maju sebagai rais aam maupun ketua tanfidz. "Kalau voting dia optimis menang, tapi kalau menggunakan kiai sepuh merasa pesimis, tidak menang. Orang kok mati-matian mengejar jabatan rois aam, padahal kiai dulu menolak. Apalagi sampai kampanye," katanya.
Sebelumnya, sistem pemilihan dengan semangat musyawarah itu mendapat tentangan dari sejumlah kalangan. Misalnya dari kader NU yang juga Anggota Komisi VIII DPR, Hasan Aminuddin. Dia menilai pemilihan rais aam menggunakan sistem Ahwa melecehkan rais syuria se-Indonesia. Karena alasan itu, politikus juga duduk di Dewan Mustasyar PCNU Kabupaten Probolinggo dan Kota Kraksaan ini terang-terangan menolak sistem Ahwa.
"Sejak awal saya tidak setuju Ahwa. Karena mengidentikkan rais syuriah itu doyan duit. Risywah (suap) kan? Argumentasi beliau-beliau (ulama NU yang setuju sistem Ahwa) itu mengantisipasi risywah. Dianggap kiai-kiai itu doyan duit apa? Ada ketersinggungan saya," kata Hasan saat dikunjungi merdeka.com di Probolinggo, Selasa (21/7).
Politikus Partai NasDem ini juga dengan lantang mengatakan tidak akan takut berseberangan dengan kiai-kiai yang merekomendasi sistem Ahwa di Muktamar NU Jombang nanti. Sebab, dia mengaku memiliki suara cukup banyak mengajak kader NU untuk menolak sistem Ahwa.
"Di sini mustasyar saya, ada dua cabang (PCNU Kabupaten Probolinggo dan Kota Kraksaan). Punya dua biting (dua suara di Muktamar ke-33). Kalau orang lain yang bicara enggak punya suara. Awak punya modal, dua suara," ujar Hasan.
Seorang pengurus PBNU yang menolak disebut nama tidak menampik bila kubu-kubuan sudah terjadi menjelang Muktamar kali ini. Ada kiai yang menyeting bahwa pengurus cabang NU itu menolak sistem Ahwa. Padahal, kata dia, pengurus cabang itu terdiri dari syuriah dan tanfidz. "Yang didekati itu syuriahnya. Itu sudah dianggap syuriah menolak semua. Padahal setelah kami cek tanfidz-nya tidak menolak."