Susahnya membangun koalisi lebih dini
Partai politik tidak mau membangun koalisi sebelum pemilu legislatif. Terburu-buru dibentuk, koalisi pun rapuh.
Sesungguhnya menjelang setahun penyelenggaraan pemilu legislatif maupun pemilu presiden, peta politik sudah bisa diprediksi. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2004 dan Pilpres 2004 serta Pemilu 2009 dan Pilres 2009, berbagai hasil survei elektabilitas dan popularitas, ternyata tidak jauh beda dengan hasil pemilu.
Kini, 8 bulan menjelang Pemilu 2014, dan 10 bulan menjelang Pilpres 2014, semakin banyak lembaga yang melakukan survei elektabilitas dan popularitas partai politik, maupun calon presiden. Beberapa lembaga survei memang tak jelas reputasinya, tapi sebagian besar bisa dipercaya. Hasil lembaga survei kredibel kurang lebih sama.
Kalau bicara calon presiden, maka nama Joko Widodo semakin berkibar menurunkan pamor Prabowo. Tapi Prabowo tidak bisa diremehkan karena dia sempat unggul hampir setahun dan masih di atas nama Aburizal Bakrie. Megawati dan Jusuf Kalla tetap populer, mengalahkan mereka yang lama telah bersiap-siap ikut konvensi.
Demikian juga partai politik. Elektabilitias Partai Gerindra terus naik, meski tidak setinggi PDIP. Partai Golkar terus membaik, kontras dengan Partai Demokrat belum bangkit dari keterpurukan akibat korupsi dan kisruh internal. Sementara partai-partai lain stagnan.
Nah, jika petanya sudah sedemikian jelas, mengapa partai-partai politik tidak mulai membangun koalisi mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih awal? Bukankah jika dibangun lebih awal akan menghasilkan koalisi yang solid, sehingga koalisi rapuh pendukung SBY-JK dan SBY-Boediono tidak terulang lagi? Mengapa elit partai politik menunggu hasil pemilu legislatif, baru bergerak membangun koalisi?
Pertama, undang-undang mengatur, bahwa partai atau koalisi partai bisa mengajukan pasangan calon apabila memiliki 20% kursi DPR atau 25% suara dalam pemilu legislatif. Tentu saja mereka lebih suka menunggu pemilu legislatif terakhir, meskipun undang-undang tidak menyatakan koalisi dibangun berdasar hasil pemilu terakhir.
Kedua, perolehan suara atau kursi pemilu legislatif bisa menjadi daya tawar berkoalisi dalam menentukan posisi calon presiden, calon wakil presiden, dan calon menteri-menteri. Di sini pemilu legislatif terakhir bisa menjadi pegangan. Tidak saja untuk mengukur keterpilihan pasangan calon, tetapi juga untuk mengukur kekuatan koalisi di DPR dalam rangka mendukung roda pemerintahan.
Ketiga, partai politik selalu memiliki harapan mendapatkan suara dan kursi lebih besar dalam pemilu legislatif. Ini murni problem psikologis. Meskipun hasil survei jarang meleset, elit partai politik masing memupuk harapan karena "nasib orang siapa tahu." Lagi pula kalau mengikuti hasil survei, bisa disebut "kalah sebelum perang."
Akibatnya, proses pembentukan koalisi berlangsung terburu-buru, kurang dari satu bulan. Bahkan pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 terdapat koalisi pengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terbentuk beberapa jam sebelum pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden ditutup.
Dengan proses pembentukan koalisi yang terburu-buru seperti itu, sulit diharapkan terbentuk koalisi solid. Partai-partai tidak mungkin menyusun platform politik sebagai dasar pengikat koalisi; sebaliknya mereka terjebak pada tawar menawar kursi jabatan.
Seperti terjadi pada Pilpres 2004, koalisi partai pendukung SBY-Kalla terbentuk secara bertahap: pertama, partai politik yang tergabung setelah pemilu legislatif dan sebelum pemilu presiden, yaitu Partai Demokrat, PBB dan PKPI; kedua, partai politik yang tergabung setelah pemilu presiden putaran pertama, yaitu PAN, PPP, PKB dan PKS, dan; ketiga, partai yang tergabung setelah pemilu presiden, yaitu Partai Golkar.
Hal yang sama terulang lagi pada Pilpres 2009, meskipun pasangan SBY-Boediono menang satu putaran. Penahapan pembentukan koalisi: pertama, partai politik yang berkoalisi sebelum pemilu presiden, yaitu Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, serta PKB; dan, partai politik yang berkoalisi setelah pemilu presiden, yaitu Partai Golkar
Proses pembentukan koalisi bertahap inilah yang menyebabkan koalisi pendukung SBY-Kalla maupun SBY-Boediono tidak solid, karena mereka tidak berangkat dari waktu dan kekuatan yang sama. Akibatnya pemerintahan SBY pun tidak efektif. Tidak semua rancangan kebijakannya disetujui DPR, termasuk oleh partai anggota koalisi.
Jikapun disetujui, nilai kebijakan sudah terdistorsi oleh negosiasi dan transaksi. Akibatnya banyak anggota DPR dan pejabat eksekutif yang terjerat kasus korupsi.