Syarat menteri bukan pengurus partai
Jadikan sidang MK sebagai panggung hiburan. Mari cermati pembentukan kabinet.
Sejak membaca berkas gugatan, lalu membaca lagi berkas gugatan yang diperbaiki, maka kita sudah mengetahui, tidak ada yang serius dari gugatan pasangan calon Prabowo - Hatta ke MK. Boleh saja Prabowo dan kuasa hukumnya menebar kata-kata hebat, namun hasilnya sudah bisa kita perkirakan: ditolak alias tidak dikabulkan.
Apalagi setelah mengikuti persidangan. Kuasa hukum tampak tidak memiliki bukti cukup untuk memperkuat dalil gugatan. Saksi-saksi yang diajukan penggugat tampak tidak paham dengan apa yang disaksikan. Lebih banyak membual daripada bersaksi. Dari mimik dan kata-kata hakim, semakin jelas: gugatan memang tidak mungkin dikabulkan.
Oleh karena itu, ikuti saja persidangan gugatan hasil pemilu presiden di MK hanya untuk hiburan. Sebab, selain banyak adegan lucu dan seru dari para saksi, juga banyak kata-kata dramatik dari para kuasa hukum. Maksudnya meyakinkan banyak orang, tetapi mereka tak sadar bahwa kita masih waras. Ya yang waras mengalah saja dengan ketawa.
Lebih baik perhatian diarahkan ke tim transisi yang dibentuk presiden terpilih Jokowi. Tim yang diumumkan Senin (4/8) lalu itu terdiri dari Rini Mariani Soemarno (kepala) yang didampingi empat deputi: Hasto Kristiyanto, Andi Widjajanto, Akbar Faizal, dan Anies Baswedan. Tim ini akan berhubungan dengan pemerintah, melakukan penyesuaian-penyesuaian program dan penyusunan APBN.
Rini dkk juga diminta mendesain postur kabinet. Tapi mereka membantah saat disebut mendapat perintah Jokowi untuk mengumpulkan dan mengajukan nama-nama calon menteri. Jokowi sendiri berkali-kali menegaskan soal penunjukan menteri, adalah urusannya. Siapa saja boleh memberikan masukan, tapi dia yang menentukan.
Tentang postur kabinet, sudah bisa dipastikan, Jokowi - JK akan menghapus jabatan wakil menteri. Sesuai janjinya untuk membuat kabinet ramping, maka jumlah kementerian pun sangat mungkin juga dikurangi. Karena jumlah kementerian dikurangi, jumlah menteri tentu saja lebih sedikit.
Selama lima tahun terakhir Presiden SBY mengangkat 34 menteri, jumlah maksimal yang dibolehkan UU No 39/2008. SBY juga mengangkat wakil menteri yang memang dibolehkan undang-undang. Akibatnya postur kabinet pemerintahan SBY-Boediono sangat gemuk. Geraknya pun lamban.
Namun bukan hal mudah bagi Jokowi untuk membikin kabinet ramping. Selain karena sudah jadi kebiasaan berkabinet gemuk, juga akan menyulitkan saat tunjuk menteri. Apalagi banyak nama diusulkan, dan lebih banyak lagi yang ngebet jadi menteri. Jokowi harus memperhatikan usulan para relawan, tim kampanye, kelompok pendukung, dan tentu saja partai politik pendukung.
Ketika Jokowi menyatakan bahwa menterinya harus melepaskan jabatan partai, PKB dan Partai Hanura langsung bereaksi. Siapapun yang bicara, suara penolakan itu adalah pengeras suara elit puncak partai. Dari sini sudah ketahuan, "tidak ada makan siang gratis" dari partai. Memang ada komitmen koalisi tanpa syarat. Tapi komitmen itu lebih sering dan lebih mudah diucapkan Jokowi daripada partai pendukung.
Sesungguhnya tidak masalah, apakah menteri itu berasal dari kalangan partai politik atau pun nonpartai politik. Yang penting, dia punya rekam jejak bagus (bersih), kompeten dan cakap, kepemimpinan kuat, pekerja keras, dan gesit.
Tidak benar anggapan yang menyatakan partai tidak punya orang bersih, berintegritas, kompeten, kepemimpinan kuat. Yang benar, jika orang partai masih mengurusi partai pada saat menjadi menteri, pasti tidak bisa gesit, pasti tidak fokus mengurus kementerian, karena urusan partai juga bejibun. Belum lagi soal konflik kepentingan antara urusan partai dan urusan kementerian.
Tetapi Jokowi-JK harus tetap realistis. Dukungan koalisi partai tidak hanya diperlukan pada saat pencalonan, kampanye, dan memenangkan pemilu; tetapi juga pada saat menjalankan roda pemerintahan. Pokok masalahnya jelas: konstitusi mengikat presiden untuk bekerja sama dengan DPR dalam membuat kebijakan, dalam bentuk undang-undang atau keputusan lain. Sementara DPR dikuasai oleh partai-partai, sehingga minimnya dukungan DPR jelas akan mengganggu kelancaran pemerintahan.
Jokowi-JK menang pemilu lebih karena dukungan rakyat, dukungan para relawan. Tapi saat pemerintahan berjalan, dukungan itu tidak akan terus menerus berwujud, katakanlah dalam bentuk demontrasi di DPR untuk mendukung rencana kebijakan presiden yang ditolak atau dimain-mainkan DPR. Jelas lebih taktis menggalang dukungan DPR, daripada terus menerus menggalang dukungan massa untuk menekan DPR.
Oleh karena itu koalisi 50%+1 mau tidak mau harus dilakukan oleh Jokowi-JK dengan partai-partai penguasa kursi DPR. Modal koalisi sudah ada: PDIP (19,46%), PKB (8,39%), Partai Nasdem (6,25%), sehingga 36,96% kursi sudah terkuasai. Untuk mencapai 50%+1 Jokowi-JK punya pilihan: pertama, menarik Partai Golkar (16,25%) sehingga menjadi 53,21%; kedua, menarik PAN (8,75%) dan PPP (6,96%) sehingga menjadi 52,67; atau ketiga, varian lain yang melibatkan Partai Demokrat (10,89%).
Namun siapapun kawan koalisi, Jokowi - JK tetap harus berkeras bahwa syarat menteri adalah bersih berintegritas, kompeten dan cakap, kepemimpinan kuat, gesit dan sepenuh waktu. Artinya, syarat tidak menjadi pengurus inti partai, tidak boleh dikompromikan agar menteri sepenuhnya konsentrasi mengurusi rakyat.