Tak puas kursi Dewa, Akil kumpul modal
Jika Akil Mochtar punya hasrat sama dengan dua pendahulunya, potensi Rp 480 M perkara pilkada harus diraih sekarang.
Saya tidak kaget sama sekali ketika mendengar kabar Akil Mochtar ditangkap KPK, Rabu (2/10) malam. Saya justru terkesima saat menyaksikan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dicokok KPK, Selasa (13/8) malam. Ya, karena KPK lebih sering menangkap politisi daripada mereka yang berlatar belakang akademisi.
Akil Mochtar tetaplah seorang politisi, meskipun sudah lama menjadi hakim konstitusi. Sebagai politisi, mindset-nya jelas: uang dapat menyelesaikan segalanya.
Tentu tidak semua politisi berpandangan demikian. Tapi itu hanya pengecualian. Kenyataan predikat terpidana korupsi sebagian besar jatuh ke mereka. Perhatikan juga sesumbar mereka: rakyat takkan mungkin memilih Anda jika Anda tidak kasih uang!
Lalu apa cita-cita seorang politisi? Mencerdaskan bangsa, menyejahterakan rakyat. Itu jargon, pernyataan gagah-gagahan saja. Dalam berpolitik, yang dilakukan adalah mengajari rakyat berkorupsi: jika tidak memberi uang suap, ya memberikan pembenaran-pembenaran atas pengambilan uang negara.
Tujuan hidup seorang politisi adalah merebut, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan. Menjadi anggota legislatif, hanya batu pijakan. Sasaran akhirnya adalah menduduki puncak eksekutif. Sebab melalui jabatan eksekutif, politisi bisa menguasai banyak orang, banyak barang, dan banyak uang.
Oleh karena itu seorang politisi sejati, takkan puas hanya menjadi anggota legislatif, apalagi hanya ketua yudikatif. Meskipun mendapat jabatan ketua MK merupakan "ketua wakil Dewa di bumi", orang seperti Akil Mochtar tidak akan puas.
Jabatan itu hanya terminal untuk mencapai jabatan eksekutif. Lihatlah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, yang terang-terangan menunjukkan hasratnya menjadi presiden. Mantan ketua MK sebelumnya, Jimly Asshiddiqie, juga pernah berminat menjadi wakil presiden, meskipun tidak terang-terangan.
Akil Mochtar tentu tidak ingin kembali menjadi calon gubernur Kalbar. Jabatan eksekutif puncak di provinsi ini tidak level dengan kursi dewa yang didudukinya. Jika Mahfud dan Jimly punya hasrat menjadi presiden atau wakil presiden, mengapa dirinya tidak?
Karena uang adalah modal pokok untuk merebut kekuasaan, sementara kekuasaan puncak masih bisa dikejar, maka tidak heran jika Akil Mochtar pun terus mengakumulasi uang melalui kursi hakim konstitusi yang didudukinya.
Mari berhitung. Akil Mochtar pasang tarif Rp 3 miliar per perkara sengketa pilkada. Dia selalu menjadi ketua panel dari tiga hakim yang bertugas memutus perkara sengketa pilkada. Artinya, dari 500 daerah yang menggelar pilkada dalam kurun 5 tahun, dia bisa menangani sekitar 160 sengketa pilkada, sehingga potensi dana suap yang bisa diraihnya Rp 480 miliar. Dapat separuh saja Akil sudah mengantongi Rp 240 miliar.
Apakah uang sebesar itu cukup untuk mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden. Tentu saja tidak cukup. Perhatikan laporan dana kampanye pemilu presiden yang dilaporkan ke KPU. Dalam Pilpres 2004 SBY-Kalla menghabiskan dana Rp 60 miliar, sedang dalam Pilpres 2009 SBY-Boediono menghabiskan Rp 233 miliar.
Tentu Anda tidak percaya dengan pengeluaran kampanye SBY-Kalla dan SBY-Boediono sebesar itu. Ya, itu dana kampanye yang dilaporkan. Yang tidak dilaporkan jumlahnya berlipat. Jika disebut 10 kali lipat, jumlah hanya Rp 600 miliar dan Rp 2,33 triliun. Mungkin Anda masih tidak percaya. Tak apa. Setidaknya ada angka yang bisa dipegang.
Nah, dengan mengumpulkan suap sengketa pilkada selama lima tahun, Akil secara laporan dana kampanye, sudah cukup membiayai dirinya untuk running presiden atau wakil presiden. Jika ada kekurangan, itu bisa dicarikan di lingkungan pengusaha dengan menawarkan janji kebijakan, perizinan atau tender proyek ke depan.