Toyota: Manufaktur Saja Tidak Mampu Bikin Harga Mobil Hybrid Turun, Perlu Insentif Seperti Mobil Listrik
Toyota memandang insentidf diperlukan untuk mobil hybrid (HEV) seperti yang diberikan ke mobil listrik (BEV). Seperti insentif PPN dan PKB.
Toyota Indonesia punya 14 varian mobil hybrid.
Ini Alasan Mobil Hybrid Perlu Dapat Insentif seperti Mobil Listrik
Tren kendaraan elektrifikasi di Indonesia semaki tinggi per Oktober tahun ini. Berdasarkan data Gaikindo, jumlah penjualan kendaraan elektrifikasi termasuk hybrid (HEV), plug-in hybrid (PHEV), dan battery electric vehicle (BEV) mencapai 53.400 unit. Toyota mendominasi dengan pangsa pasar 56,1% atau setara 29.941 unit.
Toyota saat ini memiliki 19 v kendaraan elektrifikasi; 14 varian HEV, 2 PHEV, dan 3 BEV.
Toyota mendorong penjualan mobil elektrifikasi untuk menekan emisi karbon sehingga lebih ramah lingkungan. Apalagi Toyota global berkomitmen karbon netral pada 2050.
Anton Jimmi Suwandhy, Direktur Marketing PT Toyota-Astra Motor (TAM), menjelaskan Toyota tentu persiapkan mobil listrik (BEV), tapi saat ini lebih penting mobil hybrid di Indonesia terutama di segmen menengah (segmen C).
"Maka itu, kami memasarkan Yaris Cross Hybrid, penghubung segmen B dan C," kata Anton di Jakarta, kemarin (29/11).
"Indonesia perlu meningkatkan volume mobil hybrid sebagai produk transisi menuju mobil listrik (BEV). Namun, problemnya harga jual mobil hybrid mahal dari mobil BBM."
Penjelasan Anton Jimmi Suwandhy, Direktur Marketing TAM pada merdeka.com, saat diskusi di Jakarta, kemarin.
Harga jual mobil hybrid Toyota mulai Rp 400 jutaan:
- Kijang Innova Zenix HEV Rp 471 jutaan
- Alphard HEV Rp 1,35 miliar
- RAV4 GR Sport PHEV Rp 1,1 miliar
- Yaris Cross HEV Rp 440 juta
- Corolla Cross GR Sport HEV Rp 608 juta
- Corolla Cross HEV Rp 540 juta
- Corolla Altis HEV Rp 620 jutaan
- Camry HEV Rp 937 jutaan
Menurut Anton, untuk menurunkan harga jual mobil hybrid, dari pabrikan/manufaktur saja tidak efektif, sebab komponennya tambah banyak; ada baterai, misalnya. Maka itu, mobil hybrid murah butuh insentif dari pemerintah baik pusat maupun daerah.
"Komponen baterai mobil hybrid masih impor sehingga jadi mahal dibandingkan mobil BBM."
Seperti BEV, lanjut Anton, mobil hybrid juga perlu dapat insentif. Antara lain pajak kendaraan bermotor (PKB) dan pajak pertambahan nilai (PPN), sebagian tarifnya ditanggung pemerintah.
Misalnya, PPN didiskon separuh jadi 5-6% . Insentif ini mampu memperpendek gap harga jual mobil hybrid dengan mobil BBM.
"Kenaikan penjualan mobil hybrid juga akan mendorong industri baterai di dalam negeri. Sebab mobil hybrid-nya dapat diekspor. Analis memperkirakan potensi ekspor mobil hybrid meroket pada 2030."
Penjelasan Anton pada merdeka.com.
Dosen ITB Yaness Martinus Pasaribu berpendapat, mobil hybrid di Indonesia adalah keharusan. Sebagai produk peralihan di era kendaraan elektrifikasi.
"Sebab fasilitas infrastruktur stasiun pengisi daya baterai mobil listrik belum siap. Industri baterai juga belum siap."
Hybrid is a must
Menurutnya, industri mobil listrik berbasis baterai (BEV) baru siap di Indonesia pada 2030-2035. Sebab industri ini membutuhkan investasi besar, selain infrastruktur.
"Investasi charging station per unit mahal, Rp 600 juta hingga Rp 2 miliar per unit," jelasnya.
Maka itu, Yannes menegaskan mobil hybrid diperlukan saat ini untuk transisi ke mobil listrik, selain memperkuat ekosistem dari mobil ICE menuju mobil BEV.
Pemerintah berencana membangun charging station (SPKLU): 3.860 unit pada 2025
Kementerian ESDM: 32.000 unit (2030) PLN 24.720 unit (2030)
Perbandingan konsumsi BBM mobil hybrid vs mobil ICE:
1. Konsumsi BBM (liter per 100 km) tertinggi
mobil hybrid: 6 liter/100 km
mobil ICE: 10 liter/100 km
2. Konsumsi BBM terendah
mobil hybrid: 4 liter/100 km
mobil ICE: 7 liter/100 km
Penurunan emisi karbon mobil hybrid vs mobil ICE:
1. Emisi karbon (gram/km) tertinggi
mobil hybrid: 120 gram/km
mobil ICE: 180 gram/km
2. Emisi karbon terendah
mobil hybrid: 80 gram/km
mobil ICE: 120 gram/km