Demi biaya sekolah, seorang siswa SMK di Yogya berjualan slondok
Berasal dari keluarga kurang mampu tak mengurangi semangat Desi Priharyana yang harus berjualan slondok demi sekolah.
Berasal dari keluarga kurang mampu tak mengurangi semangat Desi Priharyana, murid SMKN 2 Yogyakarta yang harus berjuang demi biaya sekolahnya. Sejak pukul tiga dini hari Desi sudah bangun, mempersiapkan buku pelajaran dan tak lupa membuka toko sebelum matahari terbit. Desi menumpang tinggal di sebuah toko sembako di Desa Toino, Pandowoharjo.
Berbeda dengan murid lainnya yang hanya membawa perlengkapan sekolah, Desi ke sekolah dengan sepeda ontel yang telah dipasangi gerobak. Sejauh 12 kilometer menuju sekolahnya yang terletak di Jalan AM Sangaji, Jetis, Yogyakarta ia mengayuh sepeda dan gerobak yang berisi makanan ringan yang akan dijual.
Camilan tradisional Yogya yang dijajakan oleh Desi adalah slondok, terbuat dari singkong. Makanan ringan ini renyah dan memiliki tekstur seperti keripik singkong.
Ternyata Desi sudah berjualan untuk membantu kedua orangtua meringankan biaya sekolahnya sejak masih duduk di bangku SD. Awalnya Desi yang masih kelas 3 SD melihat tetangganya yang berjualan roti. Melihat dagangan tetangganya yang laris manis itu, Desi tertarik untuk berjualan roti di sekolahnya.
Bermodalkan 10 bungkus, Desi mulai menjajakan roti di sekolahnya. Tak disangka, rotinya itu laku terjual bahkan sudah habis sebelum sekolah usai. Dari 10 bungkus tadi, ia kemudian menambahnya menjadi 30 bungkus. Kendala lain dihadapinya saat pabrik roti dagangannya di Solo bangkrut. Tak kehilangan akal, Desi ganti berjualan telur bebek hingga akhirnya yang terakhir slondok.
Berjualan dengan menaiki sepeda ontel setiap hari ke sekolah sama sekali tak membuat Desi merasa malu. Ia justru senang karena bisa membantu orangtua dan adiknya. Ia berangan-angan membeli motor kalau sudah mapan nanti.
Sepulang sekolah Desi menyempatkan berjualan dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sambil menunggu sinar matahari tak begitu terik. Bersekolah dan berjualan menjadi kebiasaan yang sudah dilakoninya sejak lama, sehingga remaja kelahiran 1995 itu tak merasakan beban berat sama sekali.