Kisah Nyai Ahmad Dahlan, dipingit dan dilarang mengenyam pendidikan
Layaknya sang suami, tokoh wanita hebat ini gigih dalam menyebarluaskan Agama Islam dan mendidik perempuan.
Layaknya jasa sang suami, tokoh wanita hebat yang satu ini gigih dalam menyebarluaskan Agama Islam dan mendidik perempuan. Gelar sebagai Pahlawan Nasional pun patut disandangnya, siapakah sosoknya?
Siti Walidah atau yang lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan lahir dari keluarga pemuka Agama Islam dan Penghulu resmi Keraton, Kyai Haji Fadhil. Sejak kecil Siti Walidah telah mendapat pendidikan agama yang baik karena orang tuanya juga merupakan pejabat agama di Keraton Yogyakarta. Karena alasan adat yang ketat, setiap anak perempuan dalam lingkungan Keraton Yogyakarta harus tinggal (dipingit) di rumah hingga datang saatnya untuk ia menikah. Akibatnya, Siti Walidah tidak pernah mengenyam pendidikan umum kecuali pendidikan agama yang didapat dari ayahnya.
Siti Walidah selanjutnya menikah dengan sepupunya yang baru pulang dari Tanah Suci, Kyai Haji Ahmad Dahlan. Setelah pernikahan itu, Siti Walidah dikenal dengan nama Nyi Ahmad Dahlan. Buah pernikahannya dengan K.H. Ahmad Dahlan adalah mereka dikaruniai enam orang anak.
Sebagai suami dari seorang pemuka agama yang mempunyai pemikiran-pemikiran revolusioner, Siti Walidah dan suaminya sering mendapat kecaman dan tentangan karena pembaharuan yang dilakukanya. Namun, Siti Walidah tetap mendukung suaminya tersebut dalam berdakwah dan menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya.
Meskipun tak pernah mengenyam pendidikan umum, Nyai Ahmad Dahlan mempunyai pandangan yang luas. Hal itu disebabkan karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan tokoh pemimpin bangsa lainnya yang juga merupakan teman seperjuangan suaminya.
Keterlibatan Nyai Ahmad Dahlan dalam Organisasi Muhammadiyah dimulai saat ia ikut merintis kelompok pengajian wanita Sopo Tresno (Siapa Cinta) pada tahun 1914. Kegiatan yang dirintis dalam pengajian itu adalah pengkajian agama yang disampaikan secara bergantian oleh pasangan suami istri tersebut.
Setelah kelompok pengajian tersebut berjalan lancar dan anggotanya terus menerus bertambah, Nyai Ahmad Dahlan kemudian berpikir untuk mengembangkan Sopo Tresno menjadi sebuah organisasi kewanitaan berbasis Agama Islam yang mapan. Akhirnya dipilihlah nama Aisyah sebagai organisasi Islam bagi kaum wanita. Tepat pada malam peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW pada 22 April 1917, organisasi tersebut resmi didirikan. Siti Bariyah kemudian tampil sebagai ketuanya. Lima tahun setelah didirikan, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah.
Nyai Dahlan memilih mengajari masyarakat dengan karya nyata. Ia membuka asrama dan sekolah-sekolah puteri dan mengadakan kursus-kursus pelajaran Islam dan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Selain itu, ia juga mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan serta menerbitkan majalah bagi kaum wanita.
Ia bersama-sama dengan pengurus Aisyiyah, sering mengadakan perjalanan ke luar daerah sampai ke pelosok desa untuk menyebarluaskan ide-idenya. Ia pun kerap mendatangi cabang-cabang Aisyiyah seperti Boyolali, Purwokerto, Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun, dan sebagainya. Karenanya, meski tidak duduk dalam pengurus Aisyiyah, organisasi itu menganggap Nyai A Dahlan adalah Ibu Aisiyah dan juga Ibu Muhammadiyah. Nyai Ahmad Dahlan kemudian wafat pada tanggal 31 Mei 1946 pada usia 74 tahun.