3 Kebijakan Hukum Pemerintah Jokowi yang Jadi Kontroversi
Sejumlah kebijakan yang diambil oleh pemerintah malah mengundang pro dan kontra. Sedikitnya, ada tiga keputusan pemerintah yang menuai polemik dalam kurun satu bulan terakhir ini.
Pertarungan Pilpres 2019 membuat sederet kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap mendapatkan sorotan tajam. Tak terkecuali kebijakan di bidang hukum.
Sejumlah kebijakan yang diambil oleh pemerintah malah mengundang pro dan kontra. Sedikitnya, ada tiga keputusan pemerintah yang menuai polemik dalam kurun satu bulan terakhir ini.
-
Siapa saja yang dianugerahi Bintang Bhayangkara Nararya oleh Presiden Jokowi? Presiden Joko Widodo hadir dalam Upacara Peringatan Hari Bhayangkara ke-78 Tahun 2024 di Pelataran Merdeka Monumen Nasional Jakarta, Senin (01/07).Di kesempatan yang sama, Jokowi juga memberikan atau menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Bhayangkara Nararya. Penghargaan tersebut diberikan kepada tiga personel Polri.
-
Siapa saja yang mendampingi Jokowi? Sebagai informasi, turut mendampingi Presiden dalam kegiatan ini adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, Gubernur Jambi Al Haris, dan Pj. Bupati Merangin Mukti.
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
-
Apa yang dibicarakan Prabowo dan Jokowi? Saat itu, mereka berdua membahas tentang masa depan bangsa demi mewujudkan Indonesia emas pada tahun 2045.
-
Apa yang dilakukan Aira Yudhoyono bersama kakeknya, Susilo Bambang Yudhoyono? Mereka menikmati waktu bersama dengan penuh keasyikan, saling memperhatikan berbagai hal di sekitar mereka!
-
Bagaimana Bahlil Lahadalia masuk ke dalam kabinet Presiden Jokowi? Bahlil mengaku masuk kabinet Presiden Jokowi pada 2019 bukan dari usulan atau perwakilan Golkar.
Berikut 3 kebijakan hukum pemerintah Jokowi yang mengundang kontroversi, dihimpun merdeka.com, Rabu (29/1):
Abu Bakar Baasyir
Salah satunya terkait pembebasan terpidana teroris Abu Bakar Ba'asyir (ABB). Ba'asyir awalnya hendak dibebaskan oleh pemerintah Jokowi. Alasannya, karena kondisi kesehatan dan usia Ba'asyir.
Adalah penasihat hukum pribadi Jokowi, Yusril Ihza Mahendra yang awalnya menyebut Ba'asyir akan segera dibebaskan tanpa syarat.
"Ya yang pertama memang alasan kemanusiaan. Artinya beliau kan sudah sepuh, ya pertimbangannya kemanusiaan," kata Jokowi usai meninjau Rusun Pondok Pesantren Darul Arqom, Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Jumat (18/1).
Yusril menjelaskan, awalnya pihak Ba'asyir sudah mengajukan permohonan pembebasan, tapi syarat yang diberikan pemerintah terlalu berat. Akhirnya, berkat lobi Yusril, Jokowi mau membebaskan tanpa syarat.
"Ini namanya bebas bersyarat, bagaimana kalau kita lunakkan syaratnya. Pak Jokowi bilang itu kita laksanakan kita ambil keputusan, nanti koordinasi sama yang lain," ujar Yusril di kantor The Law Office of Mahendradatta, Jalan Fatmawati Jakarta Selatan, Sabtu (19/1) lalu.
Namun belakangan, rencana tersebut dibatalkan pemerintah sendiri. Dengan alasan, Ba'asyir menolak teken pernyataan setia terhadap NKRI. Hal inipun menuai polemik, hingga pihak Ba'asyir ingin mengajukan gugatan ke pengadilan.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan, bola panas tarik ulur bebasnya terpidana terorisme, ABB sudah tidak lagi di pemerintah. Sesuai dengan aturan perundangan, ABB semestinya bisa dibebaskan dengan syarat meneken janji setia pada NKRI.
"Ya dibebaskan dong, tapi kan syarat itu harus dipenuhi, itu soalnya. Jadi bukan di kita lagi, kita harapkan beliau sedia menyepakati itu," kata Yasonna di Kantor Kemenkum HAM, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (28/1).
Tim pengacara ABB, Guntur Fatahilah membenarkan soal rencana gugatan ke PTUN. Kendati hal tersebut masih dalam penyusunan, Guntur hanya memberi isyarat seputar tanggal vonis inkrah ABB dan beleid diperdebatkan yang membuat ABB batal bebas.
"Iya, saya yang nyusun berkasnya. Jadi gini, yang dipermasalahkan soal tidak mau tanda tangan itu, tapi itu aturan itu, Permen 12 tahun 1995 dan PP 99 tahun 2012 kapan berlakunya? Lalu ABB kapan inkrahnya?" kata Guntur lewat sambungan telepon.
Saat didalami lebih jauh, apakah akan dikaitkan waktu vonis dengan berlakunya beleid tersebut, Guntur belum mau mengungkap lebih detil. "Ya itu dulu, sampai situ dulu pahami," lanjut dia.
Remisi Pembunuh Wartawan
Kebijakan hukum era Jokowi yang juga menjadi sorotan yakni terkait pemberian remisi terhadap terpidana pembunuh wartawan Radar Bali, Prabangsa, I Nyoman Susrama.
Susrama mendapatkan remisi, yang awalnya dihukum seumur hidup menjadi hanya 20 tahun. Terpidana sudah menjalani hukuman penjara selama 10 tahun. Susrama yang juga mantan Caleg PDIP itu divonis penjara seumur hidup usai terlibat dalam kasus pembunuhan berencana terhadap jurnalis Radar Bali AA Narendra Prabangsa pada Februari 2009.
Bahkan kebijakan ini memicu demo di sejumlah tempat. Para wartawan demo dan membuat petisi cabut remisi terhadap Susrama. Wartawan di Kendari, Jember, Denpasar, Jakarta kompak mendesak pemerintah mencabut remisi itu.
Namun Jokowi enggan mengomentari lebih dalam soal polemik itu. Dia menyerahkan sepenhnya kepada Menkum HAM Yasonna Laoly.
"Tanyakan Menkumham, kalau soal teknis tanyakan Menkumham," kata Jokowi di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (24/1).
Sementara Menkum HAM Yasonna menolak merevisi keputusannya. Dia menilai, keputusan itu sudah melalui kajian.
"Bukan, itu prosedur normal. Itu sudah selesai," ujar Yasonna di kantor Kemenkumham, Jakarta, Senin (28/1).
Remisi Robert Tantular
Remisi 74 bulan 110 hari yang diperoleh mantan bos Bank Century Robert Tantular tak luput menjadi sorotan. Akibat remisi yang diperoleh, Robert mendapatkan bebas bersyarat.
Robert divonis 21 tahun penjara dari sejumlah kasus pidana seperti kejahatan perbankan dan pencucian uang. Dia telah menjalani hukuman selama 10 tahun.
"Robert Tantular diusulkan PB oleh Lapas 1 Cipinang dengan surat usulan nomor W10.Pas.01.05.06-540 tanggal 5-5-2017. Dengan memperoleh SK PB Nomor W10.1347-PK.01.05.06 Tahun 2017 tanggal 14-8-2017," kata Kabag Humas Ditjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM, Ade Kusmanto, 21 Desember 2018 lalu.
Robert divonis 21 tahun penjara dalam 4 kasus. Pertama divonis 9 tahun dan denda Rp 100 miliar subsider 8 bulan kurungan dalam kasus perbankan. Kedua divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 6 bulan kurungan di kasus perbankan yang kedua.
Ketiga, Robert juga divonis bersalah dalam 2 kasus pencucian uang, yakni masing-masing 1 tahun dan 1 tahun serta denda Rp 2,5 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Keputusan Kemenkum HAM ini pun diprotes oleh KPK. Lembaga antirasuah itu mempertanyakan pembebasan bersyarat Robert.
KPK menilai, Kemenkum HAM terlalu mudah memberikan remisi kepada narapidana. KPK ingin ada standar yang ketat.
"Kita minta pada Ditjen Pemasyarakatan dan Kemenkum HAM, bukannya kita mau balas dendam, tapi bahwa khusus untuk misalnya narapidana kekerasan terhadap anak dan perempuan, korupsi, terorisme, atau narkoba itu harus ketat sekali pemberiannya," ucap Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif.
Dia tak setuju, narapidana begitu mudahnya mendapatkan potongan masa tahanan. Hukuman dinilai menjadi percuma dan tak memberikan efek jera.
"Kan percuma juga kalau misalnya sudah dihukum oleh pengadilan 10 tahun tetapi 17 Agustus dapat (remisi), Natal dapat, Lebaran dapat, Galungan dapat. Ya untuk keagamaan saja itu kan banyak sekali ininya dan pembebasan bersyarat," imbuh Syarif.
Remisi untuk Robert Tantular pun membuat iri Ketua Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) Mahendradatta yang membela Abu Bakar Ba'asyir. Dia membandingkan hukuman yang dijalani oleh Ba'asyir dengan Robert Tantular.
"Robert Tantular mendapatkan remisi hingga 77 bulan," katanya, Selasa malam 22 Januari 2019.
Sedangkan Ba'asyir yang menerima vonis 15 tahun penjara lantaran kasus terorisme hanya mendapatkan total remisi 20 bulan. Remisi itu diterima saat hari kemerdekaan dan hari besar agama.
Mahendradatta menyebut, Ba'asyir bisa saja bebas murni jika memperoleh remisi seperti yang diterima oleh Robert Tantular. "Bahkan tidak harus banyak-banyak, tidak perlu 77 bulan," katanya.
Namun Kemenkum HAM menegaskan, Ba'asyir tak banyak mendapatkan remisi seperti Robert. Sebab, Robert menjadi pendonor darah selama di lapas. Sementara Ba'asyir, tidak karena usia yang tak lagi bisa melakukan donor darah.
(mdk/rnd)