5 Kisah haru korban Tsunami Aceh setelah bertahun-tahun terpisah
Berikut kisah haru korban tsunami Aceh setelah bertahun-tahun terpisah:
Tahun ini genap sepuluh tahun gelombang Tsunami menerjang Aceh yang mengakibatkan ratusan ribu nyawa melayang dan sebanyak 93.285 jiwa masih dinyatakan hilang hingga kini. Peringatan satu dekade tragedi musibah gempa dan gelombang tsunami di Aceh yang dipusatkan di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh turut dihadiri Presiden Joko Widodo.
Peringatan bencana yang menjadi perhatian dunia ini juga akan diliput puluhan media massa dalam dan luar negeri. Kedatangan mereka untuk mengabadikan rekonstruksi dan pembangunan lainnya paska-musibah besar yang menggemparkan dunia.
Di balik peringatan bencana yang akan menjadi perhatian dunia tersebut, terselip sejumlah kisah duka dari korban yang selamat. Kisah bagaimana mereka berjuang bertahan hidup setelah kehilangan keluarga tercinta.
Salah satunya seperti yang dialami Fanisa Rizkia (15). Setelah kehilangan kedua orang tuanya, di usia yang masih muda, ia harus menjadi TKW ke Malaysia untuk bisa bertahan hidup.
Fanisa tidak sendiri, masih ada sejumlah anak yang berpisah dengan keluarganya saat Tsunami menghantam Aceh pada 26 Desember 2014. Diperlukan waktu di atas lima tahun untuk mereka bisa berkumpul kembali.
Berikut kisah haru korban tsunami Aceh setelah bertahun-tahun terpisah.
-
Kapan Museum Tsunami di Banda Aceh didirikan? Museum Tsunami menjadi monumen untuk memperingati bencana tsunami yang melanda Aceh pada penghujung 2004.
-
Apa yang menjadi tujuan utama dari pembangunan Museum Tsunami Aceh? Museum yang dirancang sebagai bangunan simbolis untuk mengenang tragedi Tsunami tahun 2004 silam sekaligus tempat edukasi dan tempat perlindungan darurat bencana alam.
-
Di mana tengkorak korban tsunami tertua di dunia ditemukan? Tengkorak ini merupakan salah satu peninggalan manusia paling awal dari pulau Papua Nugini. Tengkorak ini diperkirakan milik Homo erectus, yang hidup dari 1,9 juta hingga 143.000 tahun yang lalu.
-
Mengapa Masjid Baiturrahim Ulee Lheue disebut sebagai saksi bisu tsunami Aceh? Bangunan berwarna putih dengan balutan pilar-pilar menghiasi bagian depan ini dulunya sempat menjadi pengungsian di masa pemerintahan Hindia Belanda. Mengunjungi Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Saksi Bisu Dahsyatnya Tsunami Aceh 2004 Sebuah bangunan religius terletak tidak jauh dari pelabuhan ini memiliki nilai historis yang tidak bisa dibeli menggunakan apapun. Lebih dari itu, bangunan ini menjadi saksi bisu kedahsyatan bencana alam Tsunami Aceh pada tahun 2004 silam.
-
Siapa yang menemukan tengkorak korban tsunami tertua di dunia? Ahli geologi Australia, Paul Hossfeld pertama kali menemukan potongan tengkorak ini di dekat kota Aitape, sekitar 12 kilometer ke arah pedalaman dari pantai utara Papua Nugini.
-
Kapan gempa dan tsunami Aceh yang menghancurkan Rumah Sakit Umum Meuraxa? Peristiwa gempa dan tsunami Aceh pada 2004 masih terus dikenang sampai saat ini.
Korban Tsunami pulang ke rumah setelah dikira telah meninggal
Wirzaini Usman, PNS yang bekerja di Pemerintah Kota Banda Aceh menuturkan kisah yang mengharukan. Saat tsunami melanda pada 26 Desember 2004 lalu, adiknya Hamdani hilang. Dia sempat pesimis bahwa adiknya itu selamat.
"Yang belum jumpa hanya adik saya Hamdani, saat itu orang tua saya yang sudah tua semakin pesimis, seakan-akan Hamdani tidak selamat, sedangkan saya dan adik perempuan hari kedua sudah jumpa," kata Wirzaini kepada merdeka.com, Rabu (25/12).
Saat kejadian, kata Wirzaini, adiknya sedang berada di Pulau Aceh sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN). Tentu sulit untuk melacak keberadaannya yang jauh dari Banda Aceh. Untuk menuju pulau tersebut, harus menempuh perjalanan laut sekitar 2,5 jam dengan menggunakan angkutan laut.
Sesampai ke Banda Aceh, lalu ia mencari ke seluruh tumpukan mayat dan juga lokasi pusat pengungsian korban tsunami. Tujuannya hanya satu, mau membawa pulang Hamdani meskipun mayat yang dia dapatkan. Hal ini sesuai dengan permintaan kedua orang tuanya.
Niat menyeberang ke Pulau Aceh urung dilakukan. Dari kejauhan ia melihat beberapa orang mahasiswa yang memakai jas almamater PGSD. Bergegas ia menghampiri mahasiswa tersebut dan menanyakan keberadaan adiknya dengan memberitahukan ciri-ciri Hamdani.
Saat itulah, Wirzaini merasa lega dan senang. Kendati demikian, dia belum puas hatinya kalau tidak jumpa secara langsung. Karena teringat akan pesan orang tuanya, dia diamanahkan untuk membawa pulang Hamdani hidup ataupun sudah meninggal.
"Waktu jumpa langsung saya minta di pulang, karena keluarga dan ayah dan ibu menunggu," ungkap Wirzaini. Kini Hamdani sudah menjadi PNS di Pemerintah Kabupaten Pidie.
Dikira meninggal saat Tsunami, gadis 14 tahun kembali ke orang tuanya
Gelombang Tsunami yang melanda Aceh sepuluh tahun silam tidak hanya menewaskan ribuan warga kota Serambi Aceh tersebut. Tsunami juga telah memisahkan orang tua dengan anaknya. Salah satunya seperti yang dialami pasangan suami istri Jamaliah dan Septi Rangkuti saat kehilangan putrinya, Raudhatul Jannah yang saat itu masih berusia empat tahun.
Saat itu Wenni berusia 4 tahun terlepas dari tangan Ibunya saat tsunami menghantam tempat tinggalnya Lorong Kangkung, Desa Pangong, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat. Karena setelah dicari tidak dapat, Jamaliah dan suaminya memutuskan untuk pindah ke Desa Tarigonan, Kecamatan Ulubarungun, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara.
Jamaliah baru mengetahui anaknya selamat setelah diasuh oleh seorang nenek Maryam di Aceh Barat Daya pada bulan Agustus 2014. Jamaliah mengaku mengetahui informasi tersebut dari abangnya, Zainuddin yang melihat Wenni mirip dengan keponakannya yang hilang saat Aceh tsunami.
"Waktu pulang sekolah, abang saya lihat Wenni mirip saya, jadi curiga dan lantas abang coba selidiki, ternyata pengakuan bunda yang mengasuh Wenni menyebutkan Wenni yatim piatu korban tsunami," kata Jamaliah, Kamis (7/8).
Wenni selama 10 tahun terakhir ini diasuh oleh seorang nenek Maryam yang berada warga Desa Pulo Kayu, Kecamatan Susoh, Abdya.
Wenni saat tsunami Aceh sempat terseret sampai ke Pulau Banyak, Nias. Namun sempat diselamatkan oleh seorang nelayan bernama Bustamil dan Wenni kemudian diasuh oleh Nenek Maryam.
Berpisah akibat Tsunami, Arif menggelandang di Sumatera
Saat Tsunami menerjang Aceh, pasangan suami istri Jamaliah (52) dan Septi Rangkuti (42) kehilangan dua anaknya, Raudhatul Jannah (14) dan Arif Pratama Rangkuti (17). Arif sendiri hilang saat masih berusia 6,5 tahun terlepas dari tangan ayahnya sesaat setelah diletakan di atas papan usai menyelamatkan diri dari kejaran gelombang tsunami.
Namun takdir berkehendak lain, kedua anaknya ternyata masih hidup dan akhirnya bisa bertemu meski setelah 10 tahun berpisah. Anak-anak yang dulu saat hilang masih keecil kini sudah jadi remaja saat bertemu kedua orang tuanya.
"Alhamdulillah ternyata mimpi suami saya melihat anaknya ternyata kenyataan, meski kondisinya sudah jauh berubah, tapi dari ciri-ciri bukan hanya kami yang yakin, tetanggapun merasa kenal dengan wajah anak kami," kata Jamaliah.
Arif Pratama ditemukan oleh kedua orang tuanya di Pasar Payakumbuh, Sumatera Barat pada Selasa (18/8). Selama ini Arif dipanggil dengan sebutan Ucok, hidup gelandangan di pasar kota karena tidak memiliki tempat tinggal.
"Tahun 2007 dia masuk ke Payakumbuh, sebelumnya sempat tinggal di Medan, Sumatera Utara," cerita Jamaliah (42) ibu kandungnya.
Wartawan BBC reuni dengan Mawardah Priyanka setelah 10 tahun
Setelah sejumlah kota di Aceh disapu oleh gelombang Tsunami pada 26 Desember 2014, sejumlah media massa baik dalam dan luar negeri mengirim wartawan untuk meliput bencana alam tersebut. Salah satu wartawan asing yang meliput ke Aceh adalah wartawan BBC Andrew Harding.
Seperti dikutip BBC, Selasa (23/12), Andrew mengisahkan mengisahkan perjalanan dia ke Aceh. Dia pun masih mengingat bagaimana lumpur, puing, serta kesengsaraan ada di mana-mana. Para relawan mulai mencari jenazah, dan ratusan mayat terbaring di jalanan.
Di tempat pengungsian, Andrew bertemu Mawardah Priyanka, salah satu gadis yang kehilangan kedua orang tuanya saat terjadi Tsunami. Mawardah yang waktu itu masih berusia 11 tahun tampak kelelahan, sangat kotor, dan duduk sendiri di tenda pengungsian.
Setelah sepuluh tahun berpisah, Andrew kembali ke Aceh untuk bertemu dengan Mawardah. Mawardah kecil kini telah beranjak dewasa menjadi sosok perempuan muda yang percaya diri, cerdas dan berambisi.
Andrew menceritakan, selama dua hari, keduanya mengobrol di rumah mawardah, berkunjung ke sekolah dan makan siang dengan teman-teman dekatnya. Dari perempuan hitam manis tersebut, Andrew mengaku belajar banyak tentag cobaan dan kompleksitas hidup.
"Saya ingin menjadi seorang perempuan yang kuat. Setelah saya lulus saya akan kuliah di Amerika, dan bekerja sebagai seorang reporter. Saya merasa masa depan saya akan cerah," ujar Mawardah kepada Andrew tentang cita-citanya.
Kisah pilu Fanisa kembali ke Aceh setelah sempat dijual ke Malaysia
Tsunami yang menyapu Aceh dan menewaskan ribuan jiwa sepuluh tahun silam telah mengakibatkan sejumlah anak-anak menjadi yatim piatu. Untuk bisa bertahan hidup, ada sebagian dari mereka yang rela menjadi gelandang dan hidup di jalan. Salah satunya seperti yang dialami Fanisa Rizkia (15).
Bahkan untuk menyambung hidup, Fanisa bahkan harus menjadi TKW ke Malaysia. Ia mengaku sebelum ke Malaysia, agennya di Medan memalsukan dokumen dengan memanipulasikan umur sampai 3 tahun lebih tua. Pemalsuan ini dilakukan oleh agen di Medan bernama Anisah.
Sesampai di Malaysia, penderitaan Fanisa bukannya usai, akan tetapi dia kembali terjebak dalam sebuah kungkungan mafia agen penjualan manusia.
Pekerjaan yang dia harapkan menjadi pelayan di restoran pupus sudah, padahal dirinya sebelum berangkat ke Malaysia sekitar 5 bulan lalu meminta bekerja di restoran orang melayu dan muslim.
Namun yang terjadi, sesampainya pada agen Malaysia bernama Asraf, Fanisa dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga (PRT) selama satu bulan. Meskipun majikannya ini orang India baik, tetapi gaji satu bulan ini semua diambil oleh agen tersebut.
"Lalu setelah itu saya dibanting harga 2000 ringgit pada orang lain, saya dijual lagi sampai saya bertemu dengan kedutaan," kenangnya.
Fanisa Rizkia dalam konferensi pers di depan awak media mengaku sangat senang bisa kembali ke Aceh. Meskipun dia tidak memiliki lagi keluarga, namun bahagia bisa menginjak kaki kembali di bumi Serambi Mekkah. Fanisa merupakan salah satu dari ribuan korban tsunami Aceh.
"Senang bisa kembali ke Aceh, saya tidak mau lagi balik ke Malaysia," kata Fanisa Rizkia di ruang VVIP Bandara SIM, Blang Bintang.