70 tahun insiden Hotel Oranje, Risma bakar semangat nasionalisme
Para veteran saban tahun selalu memperingati insiden itu, tetapi dengan cara tasyakuran.
Hari ini, Sabtu (19/9), di Surabaya digelar peringatan 70 tahun peristiwa perobekan bendera di Hotel Oranje. Dalam acara itu, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, membacakan pidato.
Peristiwa perlawanan pemuda Surabaya mengusir penjajah hingga meletus Pertempuran 10 November, menjadi catatan sejarah heroisme Kota Pahlawan.
Peringatan insiden itu dilaksanakan dengan menggelar seni teater di depan Hotel Majapahit. Pada masa penjajahan Jepang, tempat itu bernama Hotel Yamato, dan diganti Hotel Oranje oleh Belanda. Bangunan itu merupakan lokasi perobekan Bendera Merah Putih Biru menjadi Merah Putih oleh beberapa pemuda.
Dalam pagelaran teater, diiringi bunyi dua kali letusan senjata, diiringi ratusan warga Surabaya berpakaian putih-putih bersenjatakan bambu runcing, mengawali peristiwa berdarah di Hotel Oranje. Mereka juga membawa kentongan, sembari berteriak meminta para penjajah menurunkan bendera penjajah di menara Hotel Oranje, Jalan Tunjungan. Terjadi pertikaian sengit menewaskan satu orang dari pihak Belanda, dan dua warga Surabaya.Hadir menyaksikan teater kolosal di halaman Hotel Majapahit, yang ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya itu, jajaran Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Cabang Surabaya, Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida), Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA), serta para masyarakat Kota Surabaya. Mereka hadir mengenakan kostum pejuang kemerdekaan dan atribut tentara zaman perjuangan.
"Dari Surabaya, kita telah menguatkan arti merah dan putih sesungguhnya. Keberanian yang suci untuk memerdekakan diri dari ketertinggalan, kemerdekaan yang suci untuk memerdekakan diri dari kebodohan, keberanian yang suci untuk merdeka dari kemiskinan. Surabaya Merah Putih telah terpatri di jiwa pemuda dan rakyat Surabaya. Keringatnya selalu berguna untuk menegakkan sang dwi warna," kata Risma dalam pidatonya.
Setelah itu, bendera merah putih dikibarkan, diiringi lagu Indonesia Raya oleh ratusan partisipan yang hadir. Hal itu buat memperingati jasa dan arwah para pejuang. Para peserta diajak mengheningkan cipta sembari diiringi lagu Gugur Bunga.
Di ujung acara, seluruh partisipan serentak menghentakkan kaki ke tanah dan tangan kanan mengeluarkan bendera kecil, dengan sorot mata menuju Merah Putih, mereka bersama-sama menyanyikan lagu Berkibarlah Benderaku. Seorang veteran bernama S. K. Syafie maju ke panggung untuk membacakan Sajak Veteran.
Ketua LVRI Cabang Surabaya, Hartoyik mengatakan, sebelum peringatan digelar Pemkot Surabaya, insiden perobekan bendera telah secara rutin diperingati oleh para veteran. Namun, hanya sebatas tasyakuran saban 19 September. Hartoyik memberikan pujian tinggi kepada Pemkot Surabaya, karena dengan acara seperti ini, para generasi muda bisa mengenal sejarah tidak hanya melalui cerita, tetapi melalui reka ulang peristiwa.
"Kami (para veteran) telah melaksanakan peringatan perobekan bendera tiap tahunnya, namun dalam bentuk tasyakuran. Kami mengapresiasi pihak Pemkot yang mulai tahun ini hingga tahun berikutnya akan terus memperingati hari bersejarah bagi kami," kata Hartoyik.
Sementara konseptor teater peristiwa perobekan bendera, Heri Prasetyo alias Heri Lentho mengatakan, dari catatan harian Ploegman, insiden perobekan bendera di Hotel Oranje diawali ketika Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat pada 1 September 1945. Isinya imbauan pengibaran Bendera Merah Putih di seluruh wilayah Indonesia. Kendati demikian, saat itu tentara Belanda yang sedang memperingati hari Ratu Wilhelmina, malah mengibarkan Bendera Merah Putih dan Biru.
"Ini peristiwa heroik pertama dilakukan Arek-Arek Suroboyo. Saat itu warga Surabaya dihantui kemiskinan, kurang makan, dan tidak memiliki senjata akibat dijajah Jepang. Namun, mereka berani melawan Belanda yang dengan sombong berada di hotel mewah. Rasa patriotisme warga Surabaya-pun tidak bisa dibendung lagi dan melakukan perlawanan," kata Heri Lentho.