Ahli Epidemiologi: Rapid Test Tidak Ada Gunanya
"Rapid test tidak ada gunanya. Maksudnya dari segi programnya tidak ada manfaatnya untuk skrining, surveillance, tidak ada manfaatnya untuk testing-testing," katanya saat dihubungi merdeka.com, Senin (13/7).
Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono meminta pemerintah setop menggunakan rapid test untuk mendeteksi pasien positif Covid-19. Terlebih, rapid test menjadi syarat wajib untuk mereka yang mau bepergian.
Pandu menilai, pemerintah sebaiknya hanya menggunakan polymerase chain reaction (PCR). Alasannya, rapid test hanya metode skrining awal untuk mendeteksi antibodi.
-
Di mana kasus Covid-19 pertama di Indonesia terdeteksi? Mereka dinyatakan positif Covid-19 pada 1 Maret 2020, setelah menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Siapa yang dinyatakan positif Covid-19 pertama di Indonesia? Menurut pengumuman resmi dari Presiden Joko Widodo, kasus Covid-19 pertama di Indonesia terjadi pada dua warga Depok, Jawa Barat, yang merupakan seorang ibu berusia 64 tahun dan putrinya berusia 31 tahun.
-
Bagaimana virus Covid-19 pertama kali masuk ke Indonesia? Kasus ini terungkap setelah NT melakukan kontak dekat dengan warga negara Jepang yang juga positif Covid-19 saat diperiksa di Malaysia pada malam Valentine, 14 Februari 2020.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Kapan kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan? Presiden Jokowi mengumumkan hal ini pada 2 Maret 2020, sebagai kasus Covid-19 pertama di Indonesia.
Sedangkan PCR, pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus dalam tubuh manusia.
"Rapid test tidak ada gunanya. Maksudnya dari segi programnya tidak ada manfaatnya untuk skrining, surveillance, tidak ada manfaatnya untuk testing-testing," katanya saat dihubungi merdeka.com, Senin (13/7).
Pandu menyebut, dari 34 provinsi di Indonesia, hanya Sumatera Barat yang sudah menggunakan PCR secara utuh untuk mendeteksi orang terpapar Covid-19. Sumatera Barat sama sekali tidak menggunakan rapid test.
Berbeda dengan Sumatera Barat, Jawa Timur justru cenderung menggunakan rapid test ketimbang PCR. Akibatnya, Jawa Timur kewalahan menghadapi masifnya kasus Covid-19.
"Jawa Timur itu salah dari awal," ujarnya.
Pandu juga menyoroti tingginya kasus Covid-19 di DKI Jakarta belakangan ini. Menurutnya, hal itu disebabkan kesadaran masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan sangat rendah. Pemicunya, pemerintah tidak mengedukasi langsung kepada masyarakat mengenai pencegahan Covid-19.
"Harusnya ada penyuluhan, turun langsung ke masyarakat untuk mengedukasi," kata dia.
Pandu juga menyinggung pemeriksaan menggunakan rapid test menjadi lahan bisnis baru di tengah pandemi Covid-19. Meskipun, pemerintah telah menetapkan batas atas biaya rapid test yakni Rp150 ribu.
“Bukan curiga bisnis, memang bisnis. Masyarakat juga sudah banyak yang menolak. Ya siapa yang berbisnis, mereka yang mencari keuntungan,” terang Pandu.
Oleh sebab itu, dia menegaskan, hentikan pemeriksaan rapid test, karena tidak bisa mendeteksi virus Covid-19.
“IDI juga kemarin menolak kok harga tertinggi rapid test Rp150.000. Kenapa mereka yang protes. Ada apa juga dengan IDI? Tidak usah pakai rapid test, PCR saja,” tutup dia.
(mdk/rnd)