Anggota 3 BPK sebut opini WTP untuk kepercayaan kepada kementerian
Eddy yang sempat menjadi anggota III BPK kemudian dipindahtugaskan ke anggota VII BPK, mengaku tidak tahu menahu lebih detil mengenai tindakan yang dilakukan oleh tim di lapangan. Dia juga mengatakan tidak terlibat secara langsung atas temuan-temuan tim di lapangan, termasuk evaluasi dari temuan tersebut.
Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan Eddy Soepardi, anggota AKN VII Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI), pada sidang kasus suap pejabat Kemendes Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat.
Dalam kesaksiannya, Eddy menuturkan opini yang diberikan BPK cukup berpengaruh terhadap kementerian. "Ketika KL (Kementerian Lembaga) atau BUMN dapat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) sebelumnya tidak, ada pengaruhnya?" tanya jaksa Ali Fikri, Rabu (27/9).
"Pengaruhnya langsung mungkin trust. Karena WTP cerminan kinerja KL, sudah sepatutnya kalau dia berkinerja bagus saya pikir sudah waktunya mereka dapat WTP," jawab Eddy.
Lebih lanjut, Eddy yang sempat menjadi anggota III BPK kemudian dipindahtugaskan ke anggota VII BPK, mengaku tidak tahu menahu lebih detil mengenai tindakan yang dilakukan oleh tim di lapangan. Dia juga mengatakan tidak terlibat secara langsung atas temuan-temuan tim di lapangan, termasuk evaluasi dari temuan tersebut.
"Dia (tim) temukan bukti, dia evaluasi. Kami sebagai pemberi tugas tidak involve dengan penemuan bukti dengan evaluasi," tukasnya.
Sementara itu, dia juga menegaskan opini yang dikeluarkan BPK sudah sesuai prosedur yang ada, tanpa ada kongkalikong terlebih dahulu.
Eddy menambahkan, opini BPK tidak bisa diganggu gugat sehingga kementerian harus 'mengemis' opini.
"Semua kementerian saya sarankan kesesuaian temuan-temuan lalu diselesaikan tidak perlu merengek-rengek minta WTP," tukasnya.
Terkait kasus ini, KPK menetapkan empat orang tersangka yakni Sugito selaku Irjen Kemendes, pejabat eselon III, Jarot Budi Prabowo, auditor BPK-RI Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli.
Sugito dan Jarot didakwa menyuap Rochmadi dan Ali sebesar Rp 240 juta agar audit keuangan Kemendes PDTT 2015 dan 2016 menghasilkan opini WTP. Dari hasil laporan keuangan Kemendes tahun anggaran 2015 BPK yang diwakili tim PDTT (penemuan dengan tujuan tertentu) terdapat Rp 420 Miliar pengolaannya tidak wajar dan diyakini ketidakwajarannya.
Sedangkan di tahun 2016, kembali ada temuan ketidakwajaran sebesar Rp 550 Miliar terkait honorarium pendamping dana desa.
Sempat terjadi perbedaan pendapat dari internal BPK-RI mengenai hal ini. Ketua tim PDTT Yudi Ayodhya penggunaan anggaran tersebut sebaiknya dilakukan dengan metode at cost. Sedangkan ketua tim laporan keuangan BPK, Andi Bonanganom mengatakan penggunaan anggaran tersebut lumpsum, dan telah memenuhi lampirannya sebagai pertanggungjawabannya.
Sementara itu, selama proses persidangan dengan terdakwa Sugito dan Jarot, terkuak pula bahwa selain memberi Rp 240 juta, pihaknya melakukan 'patungan' guna uang operasional Rochmadi dan Ali dalam melakukan sampling.