Aturan baru reklame berpotensi menyebabkan 80 ribu jiwa menganggur
Tak hanya itu, videotron juga berdampak pada pemborosan energi listrik di Jakarta.
Keluarnya Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 244/2015 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame ternyata mendapat penolakan dari para pelaku pengusaha industri reklame konvensional. Pergub ini keluar sejak Januari 2016.
Dalam Pergub itu, nantinya reklame konvensional akan diganti dengan reklame elektronik atau yang biasa disebut videotron di Jakarta. Penerapan pergub ini dinilai janggal dan merugikan jika dilihat dari beberapa aspek.
Wakil Ketua Kadin DKI Sarman Simanjorang mengatakan diberlakukannya aturan ini dapat mematikan usaha industri reklame konvensional. Karena sebagian besar pelaku industri tidak diajak saat merumuskan pergub ini.
Alasannya, pertama pergub ini tidak lagi mengizinkan reklame konvensional untuk dipasang secara komersil di kawasan kendali ketat dan sedang yang ada di Jakarta. Dari 3.675 jalan, reklame konvensional hanya boleh dipasang di 22 jalan atau hanya 0,6 persen.
Kemudian, dengan akan digantinya reklame konvensional di Jakarta, akan menambah angka pengangguran hingga 80.000 pekerja dari 350 perusahaan. Sebab, dalam industrasi reklame, tidak hanya melibatkan pengusaha tapi stakeholder lain seperti bagian desain hingga bagian pengelasan.
"Berdampak luar biasa. Berpotensi menambah angka pengangguran kurang lebih 80 ribu tenaga kerja. Melahirkan pengangguran baru di Jakarta," kata Sarman di Jakarta Pusat, Rabu (30/3).
Tak hanya itu, videotron juga berdampak pada pemborosan energi listrik di Jakarta. Pasalnya, bila dioperasikan daya listrik yang dibutuhkan mencapai 90 kali lipat lebih besar dari kebutuhan listrik reklame konvensional. Yang membuat boros daya listrik adalah jam operasi yang jauh lebih lama dibandingkan reklame konvensional.
"Adanya pemborosan energi yang luar biasa. Hampir 90 kali lipat energi yang dipakai videotron. Reklame konvensional satu meter persegi 44 watt, sedangkan reklame digital 1 meter persegi membutuhkan 1.320 watt. Apakah kita sudah surplus energi," tandasnya.
Dampak lain yang bakal terjadi, menurutnya, akan terjadi monopoli industri videotron atas reklame konvensional. Ditambah lagi, jelang masyarakat ekonomi asean (MEA), karena komponen videotron yang berasal dari luar negeri, produk dalam negeri hanya akan jadi penonton.
"Komponen videotron masih impor. Hanya kelompok tertentu yang bisa memanfaatkan ini. Produk dalam negeri hanya akan jadi penonton," ucap Sarman.
Terpisah, Ketua Asosiasi Media Luar Ruang Indonesia (AMLI) DKI Jakarta Nuke Maya Saphira menjelaskan pemerintah perlu merevisi Pergub ini. Dia menyebut bukan menolak perkembangan teknologi, tapi peraturan harus menyesuaikan kondisi pasar. Dia mencontohkan, di New York saja reklame konvensional bisa berpadu dengan videotron.
"AMLI tidak antipati dengan kemajuan teknologi, tapi mengharapkan yang realistis. Apakah Jakarta lebih modern dari pada New York? Kita realistis saja," ujarnya.
Sarman kembali mengatakan para pemangku kepentingan telah memiliki beberapa usulan atas penerapan Pergub ini. Usulan pertama, pelaksanaan Pergub No. 244 Tahun 2015 harus ditinjau kembali dan direvisi dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Pihak yang dimaksud Kadin DKI, DPI, Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA), AMLI dan para pemangku kepentingan lainnya.
Usulan lain yang direkomendasikan adalah perlu membentuk Badan Pengelola Penyelenggaraan Reklame Provinsi DKI Jakarta yang terdiri unsur-unsur pemangku kepentingan terkait.