Bahas kasus dengan Ketua DPR, Jaksa Agung dicecar Politikus PDIP
Pertemuan Jaksa Agung dan Ketua DPR dinilai menyalahi prosedur.
Ada yang menarik dalam rapat kerja antara Kejaksaan Agung dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam rapat tersebut, anggota Komisi III Masinton menanyakan tentang tujuan Ketua DPR Setya Novanto memanggil Jaksa Agung, HM Prasetyo. Pemanggilan itu dilakukan sehari setelah Kejaksaan Agung menggeledah kantor PT Victoria Sekuritas Indonesia.
"Pada saat Kejaksaan Agung dipanggil ketua DPR, siapa saja yang hadir, apa saja yang dibicarakan. Apa berkaitan dengan kasus Victoria," kata Masinton di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/9).
Menurut dia, pemanggilan secara resmi oleh lembaga DPR melalui mekanisme dan aturan yang jelas. Politisi PDIP ini menilai, pemanggilan Setya Novanto kepada Jaksa Agung kuat akan muatan politis dan kepentingan.
"Kalau dipanggil DPR melalui mekanisme paripurna untuk membicarakan kasus tersebut. Karena menyangkut Victoria, pada 2003 saya menemukan perusahaan itu dan ada orang bernama Setya Novanto. Saya tidak tahu itu Setya yang jadi pimpinan kita sekarang atau bukan," jelasnya.
Namun, pertanyaan dari Masinton tidak langsung dijawab oleh Jaksa Agung HM Prasetya. Dia justru enggan menjawab pertanyaan tersebut secara langsung dan cenderung mengalihkan ke hal yang lain.
"Soal Victoria kita tidak tebang pilih. Karena kasus ini memanfaatkan krisis ekonomi 98. Kita melakukan penggeledahan sesuai mekanisme," jawabnya.
Seketika itu, Masinton langsung bereaksi meminta jawaban pertanyaan tersebut secara terbuka dan jelas.
"Kok nggak dijawab. Luar biasa ini. Jaksa Agung diundang Ketua DPR bukan lembaga DPR. Minta laporan biar jelas ngapain dan siapa saja yang berada pada pertemuan tersebut," jelas.
Pimpinan sidang Benny Kabur Harman langsung menengahi keduanya. Agar tak terjadi, interupsi dan saling tanya ketika rapat tersebut. "Sudah, tidak usah dijawab biar menjadi masalah internal saja," kata Benny.
Diketahui, perkara ini bermula saat sebuah perusahaan bernama PT Adistra Utama meminjam Rp 469 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare sekitar akhir tahun 1990. Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukan BTN ke BPPN untuk diselamatkan.
Sejumlah kredit macet kemudian dilelang, termasuk utang PT AU. PT Victoria Sekuritas Indonesia membeli aset itu dengan harga Rp 26 miliar.
Seiring waktu, PT AU ingin menebus aset tersebut dengan nilai Rp 26 miliar. Tapi, PT VSI menyodorkan nilai Rp 2,1 triliun atas aset itu.
Tahun 2012, PT AU kemudian melaporkan PT VSI ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset itu. Saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejaksaan Agung.