Balita-balita ini meninggal dunia karena ditolak rumah sakit
Alasan kamar penuh menjadi bahasa penolakan pihak rumah sakit.
Duka masih menyelimuti pasangan suami istri Undang Misrun (42) dan Kokom Komalasari (37). Kebersamaan dengan buah hati, Mesiya Rahayu tak berlangsung lama. Bayi 15 bulan itu meninggal dunia setelah ditolak berobat di empat rumah sakit di Tangerang.
Misrun dan Kokom menempati sebuah kontrakan sempit di RT 02 RW 01, Kelurahan Neglasari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. Sementara Mesiya merupakan anak kelima.
Misrun bercerita, kepergian anaknya bermula saat hari Minggu (4/9) sekitar pukul 01.00 WIB. Tiba-tiba bayi mungil tersebut demam dan muntah-muntah.
Lalu dia bersama istri membawa Mesiya ke klinik dekat rumah. Dokter klinik menyebutkan, Mesiya terkena diare. "Akhirnya diminta dokter untuk dirawat di RS Sitanala, lengkap dengan rujukan," katanya, Senin (5/9).
Sampai di sana, putrinya tidak diterima karena kartu BPJS yang dimiliki Misrun hanya BPJS Ketenagakerjaan. Demi sang anak, Misrun segera mengurus jalan reguler dengan membayar Rp 370 ribu.
Diagnosa dokter di RS Sitanala, Mesiya menderita infeksi paru-paru. "Mereka (pihak RS Sitanala) kemudian menyerah karena tidak memiliki alat untuk menangani anak saya. Mereka memberikan rujukan tanpa menyebutkan RS," jelas pegawai sopir truk sampah di Dinas Kebersihan dan Pertamaman Kota Tangerang sebagai tenaga harian lepas (THL).
Sambil menunggu mendapat RS, Mesiya untuk sementara di rawat di IGD RS Sitanala. Misrun mengaku sudah mendatangi empat rumah sakit, yakni RSUD, RS SA di Karawaci, RS M dan RS A. Namun semua rumah sakit menolak dengan alasan kamar penuh.
"Saya enggak mengerti kenapa langsung menyatakan kamar penuh," terangnya penuh sesal.
Lantaran terlalu lama tidak kunjung mendapat pertolongan, Meisya pun kritis. Napasnya menjadi sesak hingga akhirnya pada Minggu pukul 23.30 WIB nyawa Mesiya tak tertolong.
"Sebelumnya napasnya jadi berat dan sesak. Sempat ditolong dokter, dadanya ditekan-tekan tapi tidak berhasil," ujar Misrun seraya menyatakan dirinya sangat kecewa terhadap pelayanan rumah sakit di Kota Tangerang.
"Padahal saya hendak mendaftar sebagai pasien umum dengan membayar sendiri biaya pengobatan, bukan dengan bantuan BJPS," terang pria yang selama hampir 22 tahun bekerja di DKP Kota Tangerang.
Kasus ini bukan kali pertama terjadi. Di tahun 2014, Abbiyasa Rizal Ahnaf (2) balita pengidap penyumbatan pencernaan (Ileus obstruksi, ileus paralitik) juga ditolak banyak rumah sakit saat berobat menggunakan BPJS. Menurut sang ayah, Edi, setelah ditolak oleh sejumlah rumah sakit akhirnya dirinya diterima di Rumah Sakit Tarakan.
"Banyak rumah sakit menolak untuk merawat anak saya" kata Edi saat berbincang dengan merdeka.com kala itu.
Meski diterima di Rumah Sakit Tarakan, namun nyawa Abbiyasa tidak tertolong. Abbi meninggal dunia dunia di RS Tarakan.
"Meninggalnya di Rumah Sakit Tarakan, anak saya butuh perawatan secara khusus, makanya banyak rumah sakit yang menolak,"
Saat itu tercatat 22 rumah sakit yang menolak Abbi. Alasan mereka pun beragam, mulai dari kamar penuh, tidak punya fasilitas PICU (pediatric intensive care unit) dan dokter spesialis bedah anak, hingga tak menerima pasien BPJS.
Setahun sebelumnya, bayi Dera Nur Anggarini juga mengembuskan napas lantaran ditolak sejumlah rumah sakit.
Bayi kembar ini lahir secara prematur. Selain itu, Dera juga mengidap gangguan pernapasan di tenggorokan.
Dera yang lahir di RS Zahira, Jakarta Selatan, harus masuk ke ruangan NICU. Sejumlah rumah sakit swasta yang memiliki dan menjadi rumah sakit rekanan RS Zahira dihubungi. Ada yang menyediakan, tetapi Elias dan Lisa, orang tua Dera, tak punya biaya saat diminta uang muka puluhan juta.
Ada yang terang-terangan menolak. Ada juga yang menjanjikan kamar kemudian setelah ditunggu tetapi mendadak dikatakan penuh. Total ada sekitar delapan rumah sakit yang setengah hati ingin menolong Dera.
Sementara, kondisi kesehatan Dera terus menurun. Hingga pada akhirnya pada Sabtu 16 Februari, bayi Dera mengembuskan napas terakhir.