Bandesa Adat bawa 18 surat tolak reklamasi Teluk Benoa ke Jakarta
Surat tersebut diserahkan kepada kantor staf kepresidenan.
I Wayan Gendoh Suardana dari ForBali bersama 14 Bandesa Adat (Kepala Desa Adat) terbang ke Jakarta untuk menemui Staf Kepresidenan di Gedung Bina Graha Jl. Veteran No. 16 Jakarta Pusat. Kedatangannya tersebut diterima oleh Deputi II, Yanuar Nugroho dan staf khusus kepresidenan, Noer Fauzi Rachman. Dalam pertemuan tersebut para Bandesa Adat menyampaikan sejumlah fakta penolakan reklamasi Teluk Benoa.
"Saat ini Bandesa Adat telah menyatakan sikap kritis terhadap praktik investasi. Ini merupakan sejarah dalam investasi di Bali. Ada hal-hal yang melatarbelakangi sikap kritis tersebut sehingga mencederai masyarakat adat Bali. Setidaknya ada 71 titik kawasan suci di sekitaran Teluk Benoa," tutur Wayan Gendoh saat ditemui di Sekretariat Walhi, Selasa (16/2).
Lebih lanjut ia menjelaskan terjadi upaya-upaya di ruang gelap untuk memaksakan proyek reklamasi itu tetap dilaksanakan. Tak hanya itu terjadi pula ketidakpercayaan di masyarakat terkait investasi-investasi. Faktanya dari sekian banyak rakyat yang didatangi untuk diajak bicara tentang amdal, hanya sebagian kecil yang menyetujui. Misalnya dari 80 warga yang diajak bicara, hanya ada 1 atau 2 yang menyetujui amdal tersebut.
"Satu-satunya jalan yang terbaik adalah membatalkan proyek ini kemudian Bapak Jokowi mencabut Perpres No. 51 tahun 2014," tegas Wayan Gendoh.
Ada 18 surat penolakan reklamasi dalam bentuk tertulis dengan kop surat bandesa adat. Surat tersebut berdasarkan hasil rapat adat yang masih menggunakan sistem taruman dalam mengambil keputusan. Hasil pertemuan tersebut kata dia, akan ada perwakilan staf kepresidenan yang akan datang untuk meninjau Teluk Benoa dan berkonsultasi dengan Bandesa Adat.
Menurut mereka, Teluk Benoa merupakan kawasan suci yang jika reklamasi tersebut tetap berjalan justru akan melukai masyarakat adat Bali.
"Kami menolak rencana reklamasi dan revitalisasi Teluk Benoa, karena bagi kami, kawasan itu merupakan kawasan suci. Kami merasa dicederai, apalagi bagi kami laut itu suci," ungkap Bandesa Adat Kuta Wayan Swarsa.
Dia menjelaskan, ada 71 titik suci yang ada di sekitaran Teluk Benoa. Di antaranya 33 pura, 19 loloan yang merupakan pertemuan arus sungai dan air laut dan 19 muntik tempat daratan pasir yang relatif dekat dengan permukaan laut. Muntik itu dipercaya sebagai tempat suci bagi umat Hindu karena terdapat energi panas dan dingin.
"Apa betul Teluk Benoa itu tergerus kemudian menimbulkan bencana? Seyogianya orang lain yang harusnya bertanya kepada kami sebagai masyarakat adat yang sudah lama tinggal di situ. Bukan datang membawa setumpuk amdal yang penuh dengan catatan-catatan terkait kajian-kajian tanpa melibatkan kami sebagai Bandesa Adat," tutur Wayan Swarsa.
Sebagai perwakilan masyarakat bali, dia mengaku tidak ikut dilibatkan dalam penyusunan amdal reklamasi Telu Benoa. Tidak ada niatan baik dari pihak pemerintahan maupun pihak asing yang akan merevitalisasi Teluk Benoa. Selama ini kata dia, desa adat merupakan mitra kerja pemerintahan pada saat mewujudkan kesejahteraan hingga level masyarakat kelas bawah. Pihaknya mengaku tidak pernah memprotes program-program pemerintah sebelumnya.
Pendangkalan laut di Teluk Benoa merupakan gejala alam yang memang sudah seharusnya terjadi. Sedimentasi setinggi 30 cm memang pasti terjadi mengingat usia bumi yang semakin tua. Lumut yang ada di sungai kata dia bisa dibersihkan oleh masyarakat.
"Kalau ada lumut ya harus dibersihkan bukan diuruk dan dikasih pasir lalu dijadikan 14 pulau buatan dan dibangun ribuan kamar hotel," kata dia.
Baginya, rencana pembuatan 14 pulau buatan di Teluk Benoa akan menimbulkan banyak masalah. Seperti persaingan dunia usaha pariwisata karena akan ada ratusan kamar hotel yang dibuat di atas pulau buatan tersebut. Padahal, sudah ada ribuan kamar hotel yang ada di semua Kuta, Tuban, Legian, Nusa Dua, Sanur dan yang lainnya. Tak hanya itu, kemacetan dan tindak kriminal juga akan menjadi masalah lain yang ditimbulkan dari pulau buatan itu.