Bekerja demi ibu hingga tewas terpanggang di pabrik petasan Kosambi
Bekerja demi ibu hingga tewas terpanggang di pabrik petasan Kosambi. Total ada 17 orang. Semuanya perempuan. Sembilan di antaranya, berumur 16 tahun ke bawah. Paling kecil berumur 14 tahun, Surnah, hanya terpaut satu tahun dengan Dianah yang masih 15 tahun.
Jumat (3/11), Tim DVI kembali merilis identifikasi korban jenazah ledakan di gudang kembang api PT Panca Buana Cahaya. Posko Post Mortem RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, kembali didatangi anggota keluarga yang menjemput. Duduk di selasar kamar Jenazah, Bagong, menunggu jenazah keponakannya, Dianah.
Tidak sendiri, Bagong sebetulnya menemani ibu dan ayah kandung Dianah, Sayati dan Suryadi. Seolah menengahi hubungan keluarga yang sudah terpisah. Ia duduk di antara keduanya yang dipisahkan jarak sekitar 5 meter.
Bagong, mengaku sejak awal membantu mencari anggota keluarga yang menjadi korban ledakan. Ironisnya, hari ini dia menjembatani keluarga yang sudah terpisah ketika dihubungi bahwa jenazah keponakannya telah ditemukan.
Tidak kali ini saja, dia harus bolak-balik Tangerang dan Kramat Jati. Ia menjadi saksi keluarga dekatnya mengambil jenazah anak-anak mereka.
Total ada 17 orang. Semuanya perempuan. Sembilan di antaranya, berumur 16 tahun ke bawah. Paling kecil berumur 14 tahun, Surnah, hanya terpaut satu tahun dengan Dianah yang masih 15 tahun. Dari semua itu, tinggal dua saja yang belum ketemu. Faria dan Oma.
Bagong bersyukur polisi cepat menemukan mereka. Sambil ia menunjukan foto keponakannya yang harusnya masih bisa mengenakan seragam putih-biru. Pasrah ia rela menerima takdir.
Bagong bercerita, banyak dari anggota keluarganya yang putus sekolah. Kebanyakan tamatan SD. Salah satunya Dianah yang ia jemput hari ini. Tak terbayang, anak itu bekerja di sebuah pabrik petasan dan hilang nyawa karena kebakaran.
Ia tidak tahu menahu pabrik itu memproduksi petasan. Yang ia tahu pabrik itu merupakan gudang besi tua dan sebelumnya mengolah limbah plastik. Pabrik tidak jauh dari pemukimannya. Banyak pula tetangga dia direkrut menjadi pekerja di sana.
Sutrisna, sang mandor, yang juga tinggal di sana, mengajak para anak perempuan itu bekerja. Jumlahnya tidak tanggung, dari empat RT, 30 bekerja di sana, termasuk 17 anggota keluarga Bagong.
Padahal Bagong sendiri menginginkan Dianah tidak perlu bekerja. Apa daya keterbatasan ekonomi memaksa. Sayati, ibu kandung Dianah pun sempat menolak. Tapi anak sematawayangnya, ingin bekerja demi ibu. Diimingi uang Rp 55 ribu perhari.
"Saya sih, bilang kerja jangan sampai keterusan. Mintanya gitu, masalahnya perawan jangan sampai kerja. Sekolah yang tinggi dulu gitu," harap Bagong yang kadung kehilangan Dianah.