Belasan eks aktivis 1998 demo memperingati darurat militer di Aceh
Pemberlakuan DM di Aceh dinilai telah banyak melahirkan pelanggaran HAM.
Belasan mantan aktivis 1998 menggelar aksi di Simpang Lima, Banda Aceh, Kamis (19/5). Aksi ini untuk mengingatkan kembali bahwa hari ini merupakan penetapan Aceh masuk fase Darurat Militer (DM), yang sudah berlalu selama 13 tahun.
Selain berorasi, peserta aksi yang mayoritas mantan aktivis 1998 yang sudah bekerja di berbagai profesi membawa poster dan spanduk. Aksi ini juga sempat menyita perhatian warga yang sedang melintas di jalur adat lalu lintas ini.
Semua orator pada aksi ini menyebutkan, pemberlakuan DM di Aceh telah banyak terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Terutama yang banyak menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak.
Setelah diberlakukan DM tepatnya 19 Mei 2003 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri selama 6 bulan, ada 30 ribu TNI dan 12 ribu polisi dikirim ke Aceh masa itu. Sedangkan penguasa DM di Aceh kala itu diserahkan kepada Panglima Kodam Iskandar Muda.
Kemudian penguasa DM di Aceh memberlakukan penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) baru. KTP baru tersebut kemudian lebih dikenal dengan sebutan KTP Merah Putih, yang ukurannya enam kali lebih besar dari KTP biasa. Pada KTP Merah Putih juga dituliskan Pancasila.
Diberlakukan KTP Merah Putih untuk masyarakat Aceh saat itu untuk memudahkan membedakan pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dengan masyarakat sipil biasa. KTP Merah Putih yang ukuran tak muat dalam dompet itu pun harus dibawakan ke mana pun oleh warga Aceh saat itu.
KTP Merah Putih pun saat itu menjadi 'nyawa kedua' bagi rakyat Aceh. Karena bila KTP tersebut tertinggal di rumah atau tidak memiliki, maka nyawa seseorang tak akan bisa selamat dan aparat negara langsung beranggapan itu adalah pemberontak.
Tak hanya itu, selama DM beberapa camat di kecamatan yang masuk dalam garis merah digantikan dengan oleh militer. Biasanya kecamatan camatnya dari militer, karena masuk dalam wilayah rawan terhadap pemberontakan.
Selain itu, beberapa organisasi masyarakat sipil diperintahkan untuk berhenti beroperasi dan bahkan ada yang diminta meninggalkan Aceh. Serta aktivitas media pun ikut diseleksi pemberitaan oleh penguasa DM saat itu. Penguasa DM melarang pemberitaan dari pihak kelompok GAM.
Koordinator aksi, Hendra Sahputra mengatakan, akibat penerapan DM di Aceh telah terjadi berbagai pelanggaran HAM di Aceh. Penyiksaan, pembunuhan, penghilangan orang secara paksa, pelecehan seksual dan bahkan pemerkosaan.
"Bahkan ada penangkapan tanpa proses hukum dan ini terus terjadi saat DM masih berlaku di Aceh," kata Hendra Sahputra yang akrap disapa Hendara Lawhan.
KontraS Aceh mencatat sejak tahun 1989 hingga 2005 ada 204 kasus pelanggaran HAM besar terjadi di Aceh. Data tersebut, kata mantan aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR) Aceh, sudah dilakukan verifikasi oleh KontraS Aceh.
Menurut Koordiantor KontraS Aceh, kasus pelanggaran HAM berat itu terjadi di beberapa tempat di Aceh. Seperti tragedi Simpang KKA yang banyak memakan korban jiwa dari masyarakat sipil, tragedi Titue Arakundo, Aceh Timur dan sejumlah tragedi besar lainnya.
"Ini penting untuk segera dilakukan pembentukan pengadilan HAM di Aceh untuk membongkar pelanggaran HAM di Aceh yang pernah terjadi. Karena penting menuntaskan kisah masa lalu, agar ke depan tidak kembali terjadi," tutupnya.