BNPT sebut deradikalisasi kurangi tingkat radikal napi teroris
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus menjalankan program deradikalisasi terhadap para napi terorisme. Sejauh ini program tersebut cukup manjur untuk mengurangi aksi terorisme.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus menjalankan program deradikalisasi terhadap para napi terorisme. Sejauh ini program tersebut cukup manjur untuk mengurangi aksi terorisme.
"Sejak BNPT berdiri 2010 lalu, sudah ratusan napi terorisme yang berhasil direhabilitasi dan resosialisasi ke masyarakat," ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Hamidin di Jakarta, Selasa (14/3).
Menurut Hamidin, saat ini para mantan teroris aktif membantu pemerintah dalam menjalankan program-program pencegahan terorisme baik melalui dakwah, diskusi dan berbagai aktivitas kemasyarakatan. Dia mencontohkan kakak beradik Ali Imron dan Ali Fauzi.
Ali Imron dikenal sebagai pelaku bom Bali, sedangkan Ali Fauzi aktivitas Jamaah Islamiyah (JI) yang pernah lama berguru di Filipina Selatan. Kemudian Abdurrahman Ayyub (mantan Ketua JI Australia), Abu Dujana, Khaerul Ghazali, Abu Tholut, Tony Togar, Zarkasih, Sofyan Sauri, dan lain-lain.
Bahkan, Umar Patek yang kepalanya pernah dihargai Rp 5 miliar oleh Amerika Serikat, kini juga sudah bertobat. Pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015 lalu di Lapas Porong, Sidoarjo, Umar Patek bahkan menjadi petugas pengerek bendera Merah Putih dan mengucapkan ikrar kesetiaannya.
"Sekarang di negara mana ada tokoh teroris sekaliber Ali Imron, Abu Dujana dan Zarkasih bisa diajak dialog oleh otoritas pemerintah yang mereka nilai thogut. Itu juga fakta keberhasilan deradikalisasi," tuturnya.
"Karena itu deradikalisali harus dilanjutkan, tentu kualitasnya harus ditingkatkan dengan berbagai inovasi-inovasi sesuai dengan perkembangan yang terjadi," tambah mantan Kapolres Jakarta Pusat dan Metro Tangerang ini.
Hamidin menjelaskan, teror di Indonesia itu mengalami sejarah panjang dan meninggalkan angka kejahatan yang fantastis sejak tahun 2000 sampai sekarang. Bahkan jauh sebelumnya, juga sudah ada aksi terorisme di Indonesia seperti di era Presiden Soekarno, di mana pernah sampai tujuh kali pelemparan granat seperti di Cikini tahun 1957 dan penyerangan pesawat MIG17 tahun 1960.
Era Presiden Soeharto terjadi kasus Woyla, bom di empat kedutaan yaitu Jepang, Rusia, Kanada, dan Amerika Serikat yang dilakukan WN Jepang, Tsutomo Sirhosaki, 14 Mei 1986. Kemudian di era reformasi terjadi bom Bali dengan peledak 1.2 ton yang menewaskan 202 orang.
Meski masih terjadi di beberapa tempat seperti di Jalan Thamrin, Samarinda, dan Bandung, namun bom yang disiapkan memiliki daya ledak rendah. "Itu artinya apa yang kami lakukan dengan program deradikalisasi berhasil mengurangi tingkat radikal para teroris, sehingga nyali mereka sekarang makin ciut," katanya.
Ia mengakui dari ratusan bahkan ribuan napi terorisme yang menjalani deradikalisasi ada faktor kegagalanya tapi tidak banyak. Selain itu, mereka-mereka yang kembali beraksi itu itu pemahaman radikalnya tidak sekuat dulu.
"Buktinya pelaku bom Bandung dan Samarinda tidak berani melakukan bunuh diri. Itu tandanya pemahaman jihad mereka sudah menurun karena takut mati. Dan itu buah dari deradikalisasi," ungkapnya.
Selain melalui Direktorat Deradikalisasi, BNPT melalui direktorat-direktorat lainnya juga ikut aktif membantu melakukan penggalangan dalam melaksanakan deradikalisasi. Caranya dengan merangkul para napi dan mantan teroris baik itu yang masih keras (hardcore), mulai lunak (midcore), dan softcore (lunak).
"Para pelaku tindak pidana terorisme adalah Warga Negara Indonesia jangan dikucilkan tapi harus dibina bersama. Ketika para mantan napi ini kembali ke masyarakat di sinilah tantangan justru dimulai. Pengucilan dan penolakan yang dilakukan masyarakat bisa membuat para mantan teroris kembali ke jaringannya masing-masing," tandasnya.