Buron sejak tahun 2000, keterlibatan Nur Rohman di ISIS diragukan
Nur Rohman tewas dalam bom bunuh diri di Mapolresta Kota Solo.
Tim Evaluasi Penanganan Kasus Terorisme telah melakukan investigasi bom bunuh diri di Mapolres Surakarta pada 5 Juli lalu. Tim menilai ada yang janggal saat Kepala BNPT saat itu, Komjen Tito Karnavian, menyebut pelaku yakni Nur Rohman, merupakan bagian dari kelompok militan ISIS.
"Kami senang dapat penjelasan dari Tito bahwa Nur Rohman ini buronan sejak tahun 2000 karena terlibat ISIS. Tapi ini kontradiksi dengan penjelasan Tito di DPR (saat fit proper test)," ujar anggota Tim Evaluasi Penanganan Kasus Terorisme di Mapolres Solo, Hafid Abbas dalam keterangan pers di Kantor PP Muhammadiyah Jl. Menteng Raya, Jakarta Pusat, Jumat (15/7).
Kontradiksi yang dimaksud Tim Evaluasi Penanganan Kasus Terorisme di Mapolres Solo karena mengacu pada usia Nur Rohman dengan lahirnya ISIS. Nur Rohman diketahui lahir pada 1 November 1985. Dengan demikian, setelah dianalisis mustahil Nur Rohman menjadi teroris sejak usia tujuh tahun.
"Apabila Nur Rohman masuk sekolah usia 7 tahun berarti dia sudah menjadi teroris ketika duduk di kelas enam SD atau kelas satu SMP dan dia dengan mudah dapat ditangkap dengan mendatangi sekolahnya. Perlu disampaikan bahwa jaringan ISIS baru dinyatakan lahir pada tahun 2013," jelas Hafid.
Pada usia tujuh tahun, lanjut Hafid, dalam psikologi perkembangan seorang anak belum bisa menganalisis jaringan teroris global (ISIS) dan idealisme mengorbankan diri. Kemampuan anak menghubungkan satu atau dua fenomena dengan fenomena lain baru terbentuk di usia kelas tiga SD seperti kaitan awan dengan hujan.
"Masyarakat perlu tahu apakah betul-betul dia (Nur Rohman) teroris sejak SD," sambungnya.
Tak hanya itu, kata Hafid, secara sosiologis Nur Rohman sebagai penjual bakso keliling dengan tingkat pendidikan terbatas. Tatkala Nur Rohman diklaim terlibat kelompok ISIS, itu patut dipertanyakan.
"Kondisi ini perlu didalami lebih lanjut apakah orang-orang seperti ini menjadi target prioritas ISIS dalam meluaskan jaringan di Indonesia," kata dia.
Kepada Polri, Densus 88 maupun BNPT, Tim evaluasi Penanganan Kasus Terorisme di Mapolres Solo mengingatkan agar memberikan informasi yang akurat agar masyarakat tidak terjebak pada penanganan terorisme yang inkonsistensi.
"Inkonsistensi dan akurasi informasi amat diperlukan masyarakat luas agar penanganan kasus terorisme tetap menghormati due process of law dan terbebas dari kesan penanganan yang menghalalkan segala cara, dan juga terbebas dari kesan pencarian dan pemanfaatan momentum untuk mempercepat revisi Uundang-Undang Terorisme," tuntasnya.