Calon Kepala Daerah Tampung Ketakutan Pekerja Tembakau, Tolak Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek
Advokasi terhadap Industri Hasil Tembakau menjadi agenda prioritas demi menjaga keberlangsungan hidup para pekerja
Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PD FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus memperjuangkan nasib dan melindungi mata pencaharian para anggotanya yang bekerja di industri tembakau.
Advokasi terhadap Industri Hasil Tembakau menjadi agenda prioritas demi menjaga keberlangsungan hidup para pekerja yang mayoritas bekerja di sektor pabrik rokok.
- Tak Hanya Industri, Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Buat Pedagang Asongan hingga Petani Rugi
- Menengok Dampak Wacana Aturan Rokok Kemasan Polos ke Petani dan Pengusaha
- Jika Cukai naik, Masyarakat Terus Beralih ke Rokok Lebih Murah
- Harapan Petani Tembakau ke Presiden Terpilih: Jaga Keberlangsungan Mata Pencaharian Kami
Ketua PD FSP RTMM-SPSI DIY, Waljid Budi Lestarianto, mengatakan, bekerja di industri tembakau adalah kebanggaan bagi anggota FSP RTMM-SPSI DIY.
Total pegawainya mencapai sekitar 5.250 orang, karena merupakan sumber penghasilan yang halal dan legal.
“Mayoritas anggota kami yang bekerja di sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT) adalah perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Saat ini, tidak ada lapangan kerja lain yang mampu menyerap ribuan tenaga kerja dengan pendidikan terbatas selain industri tembakau,” terangnya di kegiatan ‘Dialog Bersama Danang Maharsa’ di Ruang Pertemuan Hotel Griya Persada.
Saat ini, industri tembakau tengah menghadapi berbagai tantangan berat. Di antaranya, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP Kesehatan) yang sarat polemik.
Salah satunya, terkait larangan penjualan rokok dalam radius 200-meter dari satuan pendidikan dan pelarangan iklan media luar ruang dalam radius 500 meter.
Gelombang penolakan pasal-pasal tembakau yang bermasalah pada PP Kesehatan belum menemukan solusi. Namun Kementerian Kesehatan kembali mengeluarkan rancangan peraturan untuk menekan sektor industri tembakau dengan kejar target pengesahan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik pada masa transisi pemerintahan.
Dianggap Pasal Bermasalah
Rancangan Permenkes tersebut akan menyeragamkan seluruh kemasan rokok atau dikenal dengan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
“Kami prihatin dan sangat kecewa atas aturan-aturan yang didorong oleh Kementerian Kesehatan. Kami dengan tegas menolak pasal bermasalah pada PP Kesehatan dan aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Permenkes. Aturan ini akan mengancam sumber mata pencaharian kami, padahal gelombang PHK sedang marak terjadi di mana-mana,” khawatirnya.
Saat ini, industri tembakau tengah berupaya pulih dan menunggu realisasi kebijakan cukai 2025 yang dikabarkan tidak naik. PD FSP RTMM-SPSI DIY memandang bahwa keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok pada 2025 merupakan langkah yang tepat mengingat industri ini tengah diterpa berbagai tekanan akibat peraturan yang semakin ketat.
Namun, keputusan tidak naiknya cukai pada 2025 diharapkan tidak menjadi justifikasi pemerintah untuk menaikkan cukai secara drastis pada tahun 2026.
Dalam kesempatan serap aspirasi calon kepala daerah, pihaknya menyampaikan aspirasi para tenaga kerja yang memohon agar aturan-aturan terkait tembakau harus mempertimbangkan fakta bahwa industri tembakau adalah sektor padat karya.
“Oleh karena itu, kami sangat berharap para kandidat pemimpin daerah akan memberikan perlindungan kepada kami melalui aturan-aturan yang mendukung keberlangsungan sektor ini, terlebih saat nanti jika sudah terpilih. Jangan sampai kehadiran aturan baru seperti Rancangan Permenkes justru menjadi beban pemerintahan baru,” jelas Waljid.
Janji Cawabup Sleman
Pada kesempatan yang sama, Calon Wakil Bupati Sleman, Danang Maharsa, mengajak semua pihak untuk melihat pertembakauan dari sudut pandang positif.
Sebab, selama ini tembakau telah memberikan banyak manfaat bagi Sleman, di antaranya melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
Selain itu, Danang juga menolak berbagai aturan restriktif terkait pengaturan tembakau, khususnya di wilayah Sleman. Selain PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes, ia juga menyoroti soal Peraturan Daerah terkait Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) yang harus mempertimbangan banyak hal sebelum diterbitkan.
“Perlu dipahami bahwa belum semua fasilitas umum di Kabupaten Sleman siap untuk menghadapi aturan ini. Perda itu bukan melarang, tapi mengatur. Makanya kita tidak buru-buru untuk menerbitkan aturan ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Danang khawatir jika kebijakan yang ketat seperti PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes berpotensi mengancam serapan tenaga kerja dan munculnya ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan, dampaknya akan meluas di luar sektor pertembakauan.
“Aturan ini akan berdampak luas. Buruh rokok ada sekitar 1.500, artinya mereka menggantungkan nasibnya di pabrik rokok. PHK di Sleman meningkat dari pabrik tekstil, harapannya pabrik rokok justru ditambah untuk menampung korban PHK,” tutur Danang.