Industri Tambang Tak Bikin Untung Masyarakat, Ini Buktinya
Perbaiki tata kelola sektor pertambangan dan meningkatkan kapasitas dan keterampilan masyarakat lokal.
Perbaiki tata kelola sektor pertambangan dan meningkatkan kapasitas dan keterampilan masyarakat lokal.
Industri Tambang Tak Bikin Untung Masyarakat, Ini Buktinya
Greenpeace Indonesia bersama Center of Economics and Law Studies (Celios) merilis riset terbaru terkait industri pertambangan yang belum mampu menciptakan efek positif terhadap kesejahteraan masyarakat, khususnya warga di sekitar pertambangan.
Ekonom Celios, Nailul Huda mengatakan riset tersebut menemukan bahwa desa-desa yang menjadikan sektor pertambangan sebagai sektor utama perekonomiannya kerap menghadapi tantangan besar untuk mengakses kesejahteraan seperti memiliki pendidikan yang lebih rendah.
Kemudian kesulitan mendapatkan air bersih dan akses ke layanan kesehatan, rentan terhadap bencana alam seperti banjir dan kebakaran hutan, hingga mengalami hambatan pengembangan usaha kecil dan mikro.
"Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa sektor industri ekstraktif, utamanya pertambangan, membawa dampak sosial dan lingkungan yang tak bisa diabaikan," kata Nailul dalam acara Diskusi dan Peluncuran Riset Industri Pertambangan VS Nasib Ekonomu Hijau, Jakarta, Rabu (26/6).
Nailul mengungkapkan desa dengan sektor utama tambang pun mempunyai kesulitan yang lebih tinggi terhadap air minum bersih dibanding desa yang mengandalkan sektor selain tambang.
"Hasil olahan dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa desa di dekat wilayah tambang memiliki potensi air dan tanah tercemar limbah yang lebih tinggi dibanding desa lain," beber dia.
Tak hanya itu, desa-desa di sekitar wilayah tambang memiliki potensi mengalami bencana alam seperti banjir dan kebakaran lahan yang lebih tinggi dibanding desa yang berada jauh dari tambang.
Berdasarkan data Podes yang diolah Greenpeace Indonesia dan Celios menunjukkan 1 dari 2 desa dengan sektor utama tambang mengalami kebanjiran di tahun 2018, sementara hanya 1 dari 4 desa non tambang yang mengalami kebanjiran di tahun tersebut.
Nailul menyebut masyarakat yang tinggal di desa sekitar tambang pun lebih sulit mengakses layanan kesehatan.
Sebagai ilustrasi, sebanyak 37,19 persen desa di wilayah tambang di tahun 2018 dalam penelitian ini mengalami kesulitan mengakses rumah sakit terdekat.
Angka ini pun meningkat menjadi 41,36 persen di tahun 2021 lantaran akses infrastruktur yang semakin rusak akibat aktivitas pertambangan di desa dan kawasan desa tersebut.
Hal ini membuat pengeluaran kesehatan masyarakat desa dekat tambang lebih besar dibanding masyarakat yang tinggal jauh dari tambang.
"Jadi mereka kesulitan untuk menjangkau rumah sakit terdekat dari desa mereka. Ini yang menarik, jadi ketika kesehatan itu jadi problem utama di desa tambang ini yang terjadi adalah fasilitas kesehatan itu tidak dibangun juga di desa kemudian mereka mencapai untuk ke rumah sakit pun dia susah dan relatif itu menimbulkan biaya yang lebih tinggi," jelas Nailul.
Dia melanjutkan, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di desa dekat tambang yang rendah akan berdampak dari sisi ekonomi, teknologi dan akses terhadap pembiayaan.
Jadi ini yang menarik ketika SDM-nya itu dia tidak bergerak naik, tidak bergerak bagus dan akhirnya itu menjadikan akses dan teknologi lebih sulit untuk dijangkau.
"Jadi kalau kita lihat di beberapa desa yang di sektor tambang itu akses internetnya lebih sulit," ucap dia.
Oleh karena itu, Ivan membeberkan beberapa rekomendasi, antara lain mengadopsi praktik pertambangan yang ramah lingkungan, mendorong diversifikasi ekonomi, memperbaiki tata kelola sektor pertambangan dan meningkatkan kapasitas dan keterampilan masyarakat lokal.
"Jadi kita dorong untuk pengolahan renewable energy yang terbaru kan itu juga mengajak masyarakat lokal mengajak komunitas lokal untuk bisa memanfaatkan dari renewable energy yang baru terbarukan," tandasnya.