Ternyata Rumah Tak Layak Huni Bisa Naikkan Tingkat Stunting, Ini Alasannya
Salah satunya, karena rumah tak layak huni tidak memiliki air yang bersih.
Ternyata Rumah Tak Layak Huni Bisa Naikkan Tingkat Stunting, Ini Alasannya
Direktur Utama PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), Ananta Wiyoga menyebut rumah yang tak layak huni memberikan dampak stunting yang lebih besar. Salah satunya, karena rumah tak layak huni tidak memiliki air yang bersih.
"Saya pernah berkunjung ke daerah kumuh, di mana itu perumahan tidak layak huni, pasti angka stunting besar," kata Ananta dalam acara Media Briefing DJKN, Jakarta, Kamis (31/8).
Merdeka.com
Ananta bercerita, dirinya pernah mengunjungi Banten, Pandeglang. Di mana pada daerah tersebut terdapat satu desa, bernama desa Lebak dengan lingkungan yang kumuh, bahkan sanitasi airnya pun tidak bagus.
"Ada satu desa Lebak, bupatinya juga mengurangi angka stunting, tapi sumbernya di daerah itu kumuh. Kamu kalau ke daerah kumuh itu air, sanitasi jelek sekali, saya nggak usah cerita sanitasi jelek gimana," imbuhnya.
Perlu diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat di tahun 2022 baru 60,66 persen rumah tangga di Indonesia yang menempati rumah yang layak.
Sebelumnya, Direktur Jenderal (Dirjen) Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Diana Kusumastuti mengatakan terdapat 4 faktor penyebab masih rendahnya akses masyarakat terhadap hunian layak.
Merdeka.com
Pertama, keterbatasan lahan yang berimplikasi pada harga lahan yang semakin mahal, sehingga membuat harga rumah pun menjadi semakin tidak terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
"Sangat sulit untuk lahan ini, karena makin lama makin mahal lahan ini. Harga lahan yang semakin mahal ini membuat harga rumah pun menjadi tidak terjangkau bagi MBR, terutama di kota-kota besar dengan tingkat urbanisasi yang tinggi," kata dia.
Faktor kedua, penambahan penghasilan tidak mampu mengejar kenaikan harga rumah.
Menurut Diana harga lahan makin mahal, sementara penambahan penghasilan ini tidak mampu mengejar kenaikan harga lahan tersebut.
Kemudian, faktor ketiga yakni timbulnya permasalahan transportasi, alih guna lahan, serta permasalahan sosial dan ekonomi lainnya karena tempat tinggal jauh dari tempat kerja. Hal itu dampak dari pembangunan perumahan yang merambah pinggiran kota.
Merdeka.com
Terakhir, akses terhadap pembiayaan perumahan melalui perbankan masih terbatas, khususnya bagi pekerja informal.
"Sekitar 60 persen pekerja di Indonesia itu bekerja di sektor informal, namun baru sebagian kecil saja yang bisa menikmati akses pembiayaan perumahan dari perbankan. Ini kalau bisa ditingkatkan lagi," imbuh dia.