Lindungi Tenaga Kerja, Industri Tembakau Butuh Kepastian Cukai Jangka Panjang
Jika terjadi lonjakan tarif yang tinggi pada tahun 2026, industri tembakau berpotensi mengalami guncangan.
Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2025 dianggap sebagai langkah yang tepat. Langkah ini diharapkan dapat melindungi keberlangsungan industri tembakau serta tenaga kerjanya.
Namun, industri tembakau masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024), Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan, dan kekhawatiran terkait kenaikan cukai rokok yang signifikan pada tahun 2026.
Peneliti dari The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menyatakan bahwa kebijakan untuk tidak menaikkan CHT pada 2025 akan membantu menjaga stabilitas industri tembakau.
Namun, penting untuk memastikan adanya kepastian mengenai kebijakan CHT di tahun-tahun berikutnya agar stabilitas tersebut dapat terjaga.
Jika terjadi lonjakan tarif yang tinggi pada tahun 2026, industri tembakau berpotensi mengalami guncangan.
Heri mengingatkan peristiwa di tahun 2019 dan 2020, di mana tidak ada kenaikan cukai pada 2019, namun diikuti dengan lonjakan lebih dari 20 persen pada 2020, yang berdampak negatif pada kinerja industri tembakau.
Oleh karena itu, Heri mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan kepastian usaha dalam jangka panjang.
"Sekitar 10 persen dari penerimaan pajak berasal dari cukai tembakau. Oleh karena itu, kepastian sangat diperlukan, mengingat industri ini sangat diatur dan bergantung pada arah kebijakan pemerintah," ujarnya di Jakarta.
Dengan adanya kepastian tersebut, industri tembakau dapat merencanakan langkah-langkah produksinya untuk jangka panjang. Heri juga menekankan bahwa ketidakpastian mengenai kebijakan cukai dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih besar bagi industri tembakau.
Selain itu, industri ini juga menghadapi rencana penerapan kemasan polos tanpa merek yang tercantum dalam Rancangan Permenkes, yang dapat mengganggu ekonomi dan berpotensi mengurangi tenaga kerja.
"Jika kinerja industri terpengaruh, dan tenaga kerja terdampak, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) akan muncul," tuturnya.
Rokok Kemasan Polos Berpotensi Turunkan Pendapatan Negara
Rencana penerapan kemasan rokok polos tanpa merek berpotensi memperburuk peredaran rokok ilegal, karena pengawasan akan semakin sulit dilakukan. Menurut studi Indef, kebijakan ini dapat mengakibatkan penurunan penerimaan pajak hingga Rp95,6 triliun dan kerugian ekonomi sebesar Rp182,2 triliun.
Selain itu, Sosiolog dari Universitas Gajah Mada (UGM), AB Widyanta, menekankan bahwa kebijakan yang sering berubah-ubah membuat industri tembakau berada dalam ketidakpastian.
Dia berpendapat bahwa pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang jelas dan terukur untuk sektor yang padat karya ini.
Widyanta juga mengingatkan bahwa ketidakpastian dalam kebijakan cukai dapat menimbulkan kecemasan di kalangan pelaku industri tembakau, sehingga dia merekomendasikan agar pemerintah menetapkan tahapan yang konsisten setiap tahunnya agar industri dapat mempersiapkan diri dengan baik.
Industri Tembakau Butuh Kepastian
Industri tembakau memerlukan kepastian dalam kebijakan cukai sebagai acuan. Selain itu, pemerintah sebaiknya melibatkan semua pihak terkait dalam industri tembakau sebelum mengambil keputusan kebijakan.
Widyanta juga mengkritik rencana penerapan kemasan rokok polos tanpa merek yang diusulkan oleh Kementerian Kesehatan.
Dia berpendapat bahwa aturan tersebut dapat menyebabkan meningkatnya peredaran rokok ilegal.
"Peraturan kementerian ini tidak didasarkan pada penelitian ilmiah," ujarnya.
Widyanta menegaskan bahwa kebijakan harus mampu menangani kompleksitas kehidupan masyarakat Indonesia yang melibatkan berbagai kepentingan.
"Kementerian Kesehatan seharusnya berkoordinasi dengan kementerian lain untuk menemukan solusi terbaik bagi industri ini," tutupnya.