Cerita Eks Napi Teroris Soal Milenial Jadi Lone Wolf Belajar dari Medsos
"Sekarang zamannya sudah beda, anggota Densus 88 ada yang mengeluhkan ke saya kalau teroris sekarang tidak koordinasi (dengan jaringan) seperti dulu. Mereka belajar sendiri di medsos, improvisasi sendiri," ujarnya.
Mantan napi teroris (napiter) Mukhtar Khairi alias Abu Hafsah membenarkan bahwa saat ini jaringan terorisme memang menyerang para kaum milenial. Namun, dia mengaku lebih khawatir dengan tindakan terorisme yang dilakukan sendiri (lone wolf) seperti aksi ZA di Mabes Polri, 31 Maret lalu.
Menurut dia, aksi terorisme lone wolf akan sangat menyulitkan aparat dan negara. Seperti yang diketahui, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungapkan bahwa ZA tidak terikat dengan jaringan terorisme yang ada di Indonesia ataupun di negara lainnya.
-
Kata-kata lucu apa yang dibagikan di media sosial? Kata-Kata lucu yang dibagikan di medsos bisa menjadi hiburan bagi orang lain.
-
Di mana kemacetan parah di Jakarta sering terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Kenapa rumah sultan di Sidoarjo menjadi sorotan media sosial? Sebuah rumah megah dengan gaya dekorasi klasik seperti istana Disney tengah menjadi sorotan media sosial. Rumah tersebut dimiliki oleh HJ. Mawar Wahyuningsih, seorang pengusaha asal Sidoarjo yang terkenal rendah hati meskipun memiliki kekayaan luar biasa.
-
Kapan kemacetan di Jakarta terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Kenapa Tiko jarang tersorot media? Salah satu alasan mengapa Tiko cukup jarang tersorot adalah karena dirinya memiliki profesi yang cukup kontras dengan Unge.
-
Kenapa Situ Cipanten viral di media sosial? Tak ayal, lokasi wisata ini sempat viral di media sosial karena keindahannya, dan didatangi pengunjung dari berbagai daerah.
"Kondisi sekarang, terorisme menyerang milenial melalui medsos karena memang zamannya digital. Nah susah bagi kita untuk mengontrolnya karena mereka tidak koordinasi dengan kelompok terorisme," kata Mukhtar dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Alinea, Rabu (7/4).
Mantan napiter yang pernah diajak bergabung dengan ISIS itu melihat, kaum milenial bisa dengan cepat memahami materi mengenai terorisme yang tersebar di media sosial. Bahkan bisa mengembangkannya sendiri. menurutnya, media sosial sangat berperan dalam penyebaran paham radikal serta ajaran-ajaran pembuatan bom hingga penyerangan.
"Sekarang zamannya sudah beda, anggota Densus 88 ada yang mengeluhkan ke saya kalau teroris sekarang tidak koordinasi (dengan jaringan) seperti dulu. Mereka belajar sendiri di medsos, improvisasi sendiri," ujarnya.
Oleh sebab itu, menurutnya pemerintah harus lebih serius dalam menumpas radikalisme ideologi. Karena kata dia, radikalisme ideologi lebih berbahaya dibandingkan radikalisme fisik. Dia ingin, pemerintah bersinergi dengan para ulama untuk meluruskan paham-paham yang keliru.
"Ulama harus diberdayakan lembaga negara di wilayahnya masing-masing untuk menangkal paham-paham (radikalisme) tersebut. Yang jadi masalah kan selama ini penafsiran ayatnya, harus diluruskan," kata napiter yang divonis penjara 8 tahun itu.
Senada dengan Mukhtar, Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen (Purn) Ansyaad Mbai mendorong pemerintah untuk bekerja sama dengan para ulama dalam meluruskan paham radikalisme tersebut. Dia bahkan mendorong negara untuk bersikap lebih tegas. Karena kata dia, jika negara tidak tagas, maka terorisme di Indonesia akan bisa ditumpas.
"Para ulama harus meluruskan paham-paham yang disesatkan. Tapi imbauan ulama saja tidak cukup, harus ada pressure atau tekanan dari negara. Kalau tidak bisa meluruskan paham secara baik-baik, anda akan berhadapan dengan kekuatan negara atau tindakan hukum," kata Ansyaad dalam diskusi tersebut.
Pengamat terorisme itu mengibaratkan sebagai fenomena kebakaran yang disebabkan oleh kompor yang tidak dimatikan. Sehingga kata dia, cara mematikan kompor tersebut yakni dengan menghentikan pemahaman yang salah itu.
"Selama kompor-kompor ini tidak kita padamkan, selama itu pula akan ada kebakaran, jangan kaget kalau muncul lagi, teroris kejutan, semua negara kebobolan," ujarnya.
Secara terpisah, sebelumnya Mantan Ketua Jamaah Islamiyah wilayah Timur, Nasir Abbas juga mengkhawatirkan aksi terorisme lone wolf seperti ZA. Menurutnya aksi tersebut lebih membahayakan karena hal itu menunjukkan bahwa saat ini banyak anak Indonesia yang mencari tahu paham-paham radikalisme sendiri dan mempelajari cara melakukan penyerangan sendiri.
"Seperti ZA itu kan ternyata setelah ditelusuri oleh polisi dan Tim Densus 88, dia tidak terafiliasi atau terikat oleh jaringan teroris manapun. jadi dia belajar sendiri, cari tahu sendiri, terpapar sendiri, menyerang sendiri," kata Nasir, Selasa (6/4).
Baca juga:
Densus 88 Gerebek Rumah Terduga Teroris di Jagakarsa
Pakar: Selain Negara, Pencegahan Radikalisme Dimulai dari Keluarga
BNPT: 321 Grup WhatsApp dan Telegram Sebarkan Ideologi Terorisme
Ikut Tanggapi Terduga Teroris yang Ditembak Mati di Mabes Polri,Bang Yos:Itu Kerugian
4 Kisah Titik Balik Kehidupan para Mantan Teroris, Calon Bomber Harus Tahu Ini!