Cerita Jenderal Sepuh jadi Wapres Tanpa Pemilu, Ditawari 3 Partai jadi Pendamping Soeharto
Jenderal sepuh Try Sutrisno menjadi perbincangan publik saat Puncak acara HUT ke-79 TNI di lapangan Silang Monumen Nasional (Monas) Jakarta Pusat.
Jenderal sepuh Try Sutrisno menjadi perbincangan publik saat Puncak acara HUT ke-79 TNI di lapangan Silang Monumen Nasional (Monas) Jakarta Pusat. Sosok Try viral lantaran tidak disalami oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam video yang beredar, Try Sutrisno bersiap menyambut Presiden Jokowi yang menyalami tamu undangan satu per satu. Saat itulah, Jokowi melewati Try Sutrisno tanpa memberi salam sebagaimana kepada para wakil presiden sebelumnya.
- Kesaksian Eks Panglima ABRI Try Sutrisno Kawal Blusukan Senyap Presiden Soeharto, Sampai Dimaki-maki Jenderal Kopassus Penguasa Jatim
- Cerita Lengkap Jokowi Tidak Salami Try Sutrisno
- Cerita Try Sutrisno, Jenderal Sepuh yang Dulu Harus Cicil Rumah 15 Tahun karena Tak Punya Uang
- Cerita Penerjun Payung Hut ke-78 Bhayangkara, Tegang saat Mendarat di Hadapan Presiden
Sosok Try dikenal sebagai tokoh yang kharismatik dan bersahaja. Tapi siapa yang tahu, Try menjadi Wakil Presiden tanpa melalui proses pemilu yang dipilih langsung oleh rakyat.
Try menceritakan proses dirinya bisa terpilih mendampingi Soeharto sebagai presiden pada periode tahun 1993 sampai 1998. Hal itu dia sampaikan melalui unggahan video di kanal Youtube Irma Hutabarat - HORAS INANG.
Mantan Panglima ABRI ini mengungkapkan berhasil menjadi Wapres tanpa melalui proses pemilu. Dia justru ditawari langsung oleh tiga partai agar mau menjabat sebagai wakil presiden.
Dalam video, Try Sutrisno menceritakan bagaimana proses bisa menjadi wakil presiden ke-6 mendampingi Presiden Soeharto selama kurang lebih lima tahun.
"Saya enggak pernah mikir jadi Wapres itu apa saya enggak pakai duit. Waktu saya itu kan fraksi datang pertama PDI ke sini zaman Suryadi tau kan? 'Pak Try kita mau rapat pimpinan PDI mau gak jadi Wapres pertama (ditwari katanya) tentu saya' katanya Suryadi. Terus dia bilang mau minta izin mau enggak pak Try dicalonkan PDI," kenang Try dikutip dari Youtube Irma Hutabarat - HORAS INANG pada November 2023 lalu.
Usai ditawari PDI, Try mengatakan dia kembali di datangi oleh dua orang dari perwakilan partai berbeda. Yakni PPP dan Golkar. Kedua partai itu menawari Try untuk dicalonkan menjadi wakil presiden dari partai mereka masing-masing.
"Habis Suryadi, PPP datang orang Aceh. Tanya 'Pak Try mau enggak dicalonkan jadi Wapres' di sini (rumah) enggak paka duit, enggak pakai bendera, enggak pakai pidato. Habis itu Golkar datang semua fraksi ke sini," ungkap Try.
Try pun kemudian meminta untuk pihak partai lebih baik menanyakan kepada Soeharto terlebih dahulu sebagai presiden. "Saya bilang terima kasih saya hargai Anda, silakan tanya Pak Harto (Soeharto) karena harus presiden dulu dipilih kan. Presiden terpilih baru disodori Wapres," tambahnya.
Setelah direstui beberapa partai menjadi wapres, nama Try diajukan ke hadapan Presiden Soeharto. Tak butuh pertimbangan banyak, Soeharto rupanya langsung merestui Try untuk mendampinginya sebagai Wakil Presiden (wapres).
"Dan waktu ditanya ke Pak Harto kebetulan kok pak Harto menerima. Andaikan pak Harto ditawari 'pak mau enggak wapres ini (jawabnya) tidak' ya milih lain lagi mereka cari lagi," kata Try.
Di akhir perbincangannya, Try mengatakan dirinya cukup beruntung bisa menjadi wakil presiden di zaman dulu. Sebab, menurutnya, jika sekarang dia tidak akan pernah mampu mencalonkan diri sebagai wapres.
"Jadi kalau saya ikut zaman sekarang mau wapres enggak bisa pak enggak punya duit. Kalau zaman dulu untung saya di sini aja (mereka) datang ke sini," pungkasnya.
Profil dan Karir Try Sutrisno
Dikutip dari website TNI, Try Sutrisno memiliki karir politik yang mentereng. Pada tahun 1956, dia diterima menjadi taruna di Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad).
Pengalaman militer Try Sutrisno pertama adalah pada tahun 1957, ketika ia berperang melawan pemberontakan (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) PRRI.
Sebelum menjadi ajudan Soeharto, Try Sutrisno sudah mengenal lebih dahulu di masa Operasi Pembebasan Irian Barat tahun 1962, ketika itu Mayor Jenderal Soeharto ditunjuk Presiden Soekarno menjadi Panglima Komando Mandala yang berpangkalan di Sulawesi.
Pada tahun 1974, Try terpilih menjadi ajudan Presiden Suharto. Di saat inilah karir suami dari Tuti Sutiawati yang dinikahinya 21 Januari 1961 itu meroket.
Pada tahun 1978, Try diangkat ke posisi Kepala Komando Daerah Staf di KODAM XVI/Udayana. Setahun kemudian, ia menjadi Panglima Daerah KODAM IV/Sriwijaya. Dan empat tahun kemudian, ia diangkat ke Panglima Daerah KODAM V/Jaya dan ditempatkan di Jakarta.
Agustus 1985 pangkatnya dinaikkan lagi menjadi Letjen TNI sekaligus diangkat menjabat Wakasad mendampingi Kasad. Jenderal TNI Rudhini ketika itu.
Tidak lama menjabat sebagai Wakasad, pada bulan Juni tahun 1986 atau sepuluh bulan sejak diangkat menjadi Wakasad, ia pun kemudian diangkat menjadi Kasad menggantikan Jenderal TNI Rudhini.
Selama menjadi Kasad, yang hanya sekitar satu setengah tahun, karena pada awal tahun 1988 ia dipromosikan menjadi Pangab menggantikan Jenderal TNI LB Moerdani.
Jenderal TNI Try Sutrisno akhirnya memimpin ABRI, sejak tahun 1988 hingga tahun 1993. Ketika itu ABRI masih terdiri dari institusi TNI AD, TNI AL, TNI AU, dan Polri.
Banyak peristiwa penting yang patut dicatat selama kepemimpinannya, seperti meletusnya kembali pemberontakan GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) di Aceh pada pertengahan tahun 1989, menyusul dibubarkannya Kodam I/Iskandarmuda.
GPK separatis Aceh tersebut merupakan kelanjutan (kambuhan) dari GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro) yang lahir pada tahun 1976 dan yang telah berhasil ditumpas pada tahun 1982. selam dia memimpin, banyak peristiwa separatis yang terjadi. di antaranya peristiwa Santa qruz, GPK di Aceh dan juga peristiwa Tanjung Priok.
Kemudian Majelis Permusyawaratan Rakyat masa bakti 1992-1997 melalui sidang umum pada tahun 1993, akhirnya memilih Try Soetrisno menjadi Wakil Presiden RI mendampingi Soeharto, presiden terpilih saat itu.
Adalah Fraksi ABRI MPR-RI yang lebih dahulu mencalonkannya, mendahului pilihan terbuka dari Presiden Soeharto ketika itu. Suatu hal yang tidak lazim pada era Orde Baru itu. Konon, Presiden Soeharto merasa di-fait accompli (ketentuan yang harus diterima).
Pada tahun 1998 tugasnya sebagai Wapres berakhir, dan kemudian digantikan oleh BJ Habibie pada Sidang Umum MPR 1998.