Cerita keceriaan dibekas tempat eksekusi, Taman Fatahillah
Mirip mesin waktu, pantulan cahaya senja dari siluet gedung tua-tua VOC itu seperti membawa kembali ke suasana silam.
Senja di Lapangan Fatahillah sangat berbeda dengan senja di tempat lain di Jakarta. Meski mungkin sama-sama riuh, menghabiskan matahari di tengah kepungan bangunan tua menghadirkan nuansa yang sama sekali berbeda.
Mirip mesin waktu, pantulan cahaya senja dari siluet gedung tua-tua peninggalan VOC itu seperti membawa kembali suasana berabad-abad silam ke masa kini. Cobalah!
Jika suasana hati tak sedang ingin mengenang, sesekali nikmati saja geliatnya dengan membaur pada keramaian.
Di tengah lapangan biasanya akan gampang ditemui pertunjukan setiap akhir pekan. Termasuk kuda lumping pamer semburan api dari mulut sang pemainnya.
Atau, ulurkan saja tangan ke peramal dan nikmati ocehannya membaca garis tangan soal nasib rizki, jodoh atau pekerjaan. Tak perlu bersungguh-sungguh dihayati toh mereka hanya mencari sesuap nasi.
Jika bosan dengan peramal pilih saja yang lain, tukang tato, pelukis atau menikmati kopi untuk menemani senja atau sekadar melihat turis-turis berfoto di depan Gedung Fatahillah atau meriam kuno.
Tempat eksekusi mati
Lima meriam yang dipasang konon adalah pendamping meriam Si Jagur yang kini dipasang dekat Kantor Pos Besar. Si Jagur adalah meriam legendaris milik Portugis yang dibangun di Macao dan ditempatkan di benteng St Jago de Barra dekat pantai.
Meriam seberat 3,5 ton itu kemudian dipindah untuk memperkuat benteng di Malaka melawan Belanda tahun 1641. Portugis yang kalah akhirnya merelakan meriam itu diangkut Belanda. Penduduk setempat yang repot menyebut benteng asal meriam di St Jago de Barra menyingkatnya menjadi si Jagur.
"Dinamai Si Jagur oleh orang Betawi karena meriam-meriam besar itu bunyinya jegur-jegur," tutur Khasirun Musakhir Pengelola dan Perawatan Museum Sejarah Jakarta, Sabtu (22/11) kemarin. Konon kembaran Si Jagur juga ada di Banten dengan nama Ki Amukdan Nyi Setomi di Surakarta.
Seperti stadhuis atau balai kota di seluruh Eropa abad ke-17, Jan Pieterszoon Coen ketika membangun balai kota untuk Batavia juga melengkapinya dengan stadhuis plein atau alun-alun kota.
Dia juga menempatkan sebuah air mancur bersegi delapan sebagai sumber air bagi masyarakat setempat yang diambilkan dari Pancoran Glodok melalui jaringan pipa bawah tanah.
Selain berfungsi sebagai tempat keceriaan dengan pasar rakyat atau pekan raya di era itu stadhuis plein adalah tempat eksekusi. Pengumuman eksekusi biasanya dilakukan pagi hari ketika bel berukir soli deo gloria di atap Stadhuis berbunyi. Eksekusi lazim dilakukan sore harinya.
Pada tahun 1973 Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman tersebut dengan memberi nama baru yaitu Taman Fatahillah sebagai penghormatan kepada panglima Fatahillah pendiri kota Jakarta.