Cerita para anggota DPR 'tertipu' teken draf revisi UU KPK
Mereka diajak ke ruang fraksi PDIP dan diminta untuk meneken draf revisi UU KPK. Mereka mengaku tidak membaca draf itu.
Dua politikus PPP, Arwani Thomafi dan Aditya Mufti Arifin ikut menandatangani usulan revisi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Namun keduanya menyatakan dengan tegas tidak mengetahui isi dari pasal per pasal dalam draf tersebut. Sebab, keduanya mengaku saat melakukan tanda tangan tidak disodorkan draf tersebut.
Keduanya kompak menegaskan tak menyetujui isi dari pasal 5 yang mengatur masa berlaku KPK hanya berumur 12 tahun semenjak undang undang disahkan. Namun sayang, Aditya tidak mau mengakui fraksi mana yang mengajak atau merayunya untuk menandatangani persetujuan itu.
"Ada kawan-kawan dari fraksi lain," kata Aditya saat dihubungi merdeka.com, Jumat (9/10).
Hal yang lebih terang diungkap oleh Politikus PKB Irmawan salah satu anggota DPR yang juga ikut menandatangani usulan revisi UU KPK. Namun menurut dia, tanda tangan diberikan bukan bermaksud untuk melemahkan KPK. Dia sendiri mengakui jika tak membaca isi draf usulan revisi tersebut sebelum teken.
Irmawan menjelaskan, rencana revisi UU KPK memang sudah ada sejak lama. Dengan catatan revisi itu untuk memperkuat lembaga antikorupsi, bukan malah melemahkan seperti yang diberitakan belakangan.
"Selama ini bisa bergesekan dengan kepolisian dan kejaksaan. Institusi saling hormati," kata Irmawan di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (8/10).
Dia menceritakan, dirinya diminta untuk datang ke ruang Fraksi PDIP untuk tanda tangan usulan revisi UU KPK. Dia pun tak membaca isi draf tersebut dan hanya main tanda tangan saja.
"Penandatanganan kemarin, saya enggak sempat baca, tanda tangan jelang paripurna hari Senin. Bayangan saya, konsep saja, jadi tanda tangan saja. Saya diminta ke ruang fraksi PDIP kemudian ditandatangani. Draf-nya tidak sempat baca," kata dia.
Di dalam ruangan fraksi PDIP DPR itu, dia menceritakan ada politikus PDIP Ichsan Soelistyo. Menurut dia, di sanalah beberapa orang yang mengusulkan diminta tanda tangan agar UU KPK dapat segera direvisi dan masuk prolegnas 2015.
"Ada Pak Ichsan. Anggota yang lain lebih kurang ada 3-4 anggota. Saya lupa namanya. Konsepnya tanda tangan agar masuk Prolegnas 2015. Kalau itu setuju," tutur dia.
Juru Bicara PPP Arsul Sani justru lebih heran dengan draf yang beredar ke awak media, menggunakan kop Presiden sebagai covernya. Tak hanya itu, dia pun heran dalam draf tersebut juga mengatur masa berlaku KPK yang hanya 12 tahun itu.
Dia pun mengaku akan mempertanyakan hal ini langsung ke PDIP sebagai fraksi yang paling ngotot UU KPK direvisi.
"Itulah nanti yang akan kami tanyakan. Katakanlah kalau PDIP yang betul itu (pengusul) Kalau benar ya maka kami akan tanyakan," ujarnya.
Sementara itu, saat ditanya, apakah ada draf atas inisiatif DPR namun menggunakan kop Presiden, dia menyatakan bahwa selama ini tak ada sama sekali draf yang dibuat DPR menggunakan kop Presiden. "Setahu saya tidak pernah ada," tukasnya.
Sebelumnya, Politikus NasDem Taufiqulhadi juga mengakui tidak mengetahui isi dari draf tersebut, walaupun dia ikut menandatanganinya.
Niatan revisi UU KPK mulai menemui titik terang, yaitu hanya PDIP yang seakan ngotot UU KPK direvisi. Bukan tanpa alasan, Politikus PDIP menegaskan fraksinya akan mengerahkan kekuatan penuh agar revisi UU KPK terwujud.
Bahkan, Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto menyatakan bahwa revisi UU KPK merupakan instruksi langsung dari komandan tertinggi partai. Walaupun, dia enggan menyebut apakah komandan itu adalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
"PDI Perjuangan kan harus tegak lurus, kalau perintah komandannya, pimpinannya A maka kita A semua. Kalau B ya B," katanya.
Bola panas kini berada di Presiden Jokowi. Sebab, sesuai konstitusi, undang-undang harus merupakan kesepakatan antara DPR dan pemerintah.
"Dalam konstitusi kita, pembuat UU bukan cuma DPR, tapi dengan Presiden. Presiden bisa bikin UU tanpa DPR namanya Perppu. DPR bersama Presiden membahas dan menyetujui UU," kata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.