Cerita Radio Sonora jadi 'pemersatu' korban gempa Yogya
Saat gempa Yogya, 27 Mei 2006 lalu, Radio Sonora jadi satu-satunya alat bertukar informasi yang akurat untuk warga.
Sekitar 6.234 jiwa meninggal dan lebih dari 36 ribu rumah rusak setelah gempa berkekuatan 5,9 SR mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Sabtu, 27 Mei 2006 lalu. Guncangan terasa sekitar pukul 05.54 WIB.
Tak cuma rumah penduduk, gedung-gedung bertingkat, sekolah dan mal juga mengalami kerusakan parah. Bahkan di Mal Saphir Square, temboknya bagian depan roboh, kanopi ambruk dan menimpa teras mal.
Saat peristiwa itu terjadi, betapa sulitnya berkomunikasi dengan sanak saudara yang ada di sana karena listrik mati total dan sejumlah infrastruktur rusak. Satu-satunya harapan untuk mengetahui perkembangan informasi di lapangan hanya melalui radio.
Ada satu stasiun radio yang kala itu menyumbang peran besar sebagai jembatan komunikasi antar warga dan kerabat untuk saling bertukar informasi. Ya, Radio Sonora dengan gelombang frekuensi 97,4 FM, tak henti-hentinya melakukan siaran selama 24 jam sampai beberapa hari dengan harapan menjadi penyambung lidah antara masyarakat dengan pemerintah. Ratusan timnya pun diturunkan ke lokasi untuk terus melaporkan setiap perkembangan yang terjadi.
Saking update-nya, kala itu Radio Sonora disebut sebagai radio pemersatu warga DIY dengan korban gempa. Dengan radio ini, warga bisa mencari tahu kerabatnya yang hilang, bahkan mendapatkan kebenaran kabar soal isu yang menyebut akan ada gelombang tsunami setelah gempa terjadi. Semua informasi yang dibutuhkan warga mereka jawab.
"Kalau kita sejak beberapa menit terjadinya gempa Yogya kita langsung siaran juga walaupun listrik mati. Soalnya kita pakai genset sebagai pengganti listrik," cerita salah satu reporter Radio Sonora, Lilik, saat berbincang dengan merdeka.com, Jakarta, Sabtu (16/11).
Menurut Lilik, saat mendengar kabar soal gempa Yogya, Radio Sonora langsung menerjunkan dan menyebar tim andalannya yang disenjatai dengan radio dua band. Mereka turun ke sejumlah titik-titik dan wilayah yang parah terkena dampak gempa.
"Kita bagi-bagi radio sebagai alat ke lokasi daerah bencana, banyak relawan yang gabung dengan kita. Ada sekitar seratus radio sebagai alat komunikasi," jelas dia.
Rekan Lilik, Benny, reporter Radio Sonora yang kebetulan tinggal di Yogya, menambahkan, setelah mendapatkan kabar soal gempa langsung meliput dan memberikan informasi kepada pendengar. Kala itu, Benny juga meluruskan kabar soal isu adanya gelombang Tsunami dari Pantai Parangtritis yang sempat menggegerkan warga dan membuat panik sebagian besar penduduk Yogyakarta sehingga saling bertabrakan saat menyelamatkan diri.
"Kami yang menginformasikan pada pendengar bahwa di Parangtritis tidak ada tsunami. Kemudian dari BMKG juga datang ke Kantor Sonora untuk memberikan pengumuman kepada warga bahwa tak terjadi Tsunami," cerita Benny kepada merdeka.com saat dihubungi terpisah.
Meski kondisi saat itu cukup panik dan kacau, Benny menegaskan Radio Sonora tetap konsisten sebagai jembatan informasi yang akurat agar masyarakat DIY bersatu dan tak percaya dengan isu-isu tak jelas.
"Daerah mana yang butuh bantuan kami jembatani, warga yang kehilangan keluarganya juga kami bantu, donatur yang ingin menyumbang juga kami mediasi dan lain sebagainya. Kami bersama relawan-relawan dan termasuk juga melalui Sonora warga dapat berkomunikasi dan tukar pikiran dengan warga lainnya," jelas Benny.
"Selain itu, siaran atau berita dari luar banyak yang kita drop. Lantaran kita fokus terhadap berita-berita dan siaran gempa Yogyakarta. Jadi saya betul-betul merasakan nuansa kekerabatan melalui Radio Sonora, yang belum kenal menjadi saudara, lantaran kita merasa senasib," tutupnya.
Perlu diketahui, jangkauan siaran Radio Sonora meliputi Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, Klaten, Muntilan, Magelang, Purworejo, Kutoarjo, Wonosobo, Temanggung dan Kebumen.