Cerita Wided Bouchamaoui peraih Nobel Perdamaian Tahun 2015
Peraih Nobel Perdamaian Tahun 2015, Wided Bouchamaoui membagikan pengalamannya saat memenuhi undangan Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki di Gedung Bina Graha, Jakarta. Wided Bouchamaoui mengatakan, dia merupakan salah satu pejuang yang memulihkan demokrasi di Tunisia.
Peraih Nobel Perdamaian Tahun 2015, Wided Bouchamaoui membagikan pengalamannya saat memenuhi undangan Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki di Gedung Bina Graha, Jakarta. Wided Bouchamaoui mengatakan, dia merupakan salah satu pejuang yang memulihkan demokrasi di Tunisia.
Perjuangan memulihkan demokrasi itu terjadi saat gerakan Revolusi Melati atau yang dikenal dengan Jasmine Revolution (Tunisian National Quartet). Jasmine Revolution merupakan proses menggulingkan Presiden Zine El Abidine Ben Ali pada tahun 2011.
Kala itu, pengunjuk rasa memprotes kenaikan harga pangan, bahan bakar, pengangguran, korupsi, dan kebebasan berbicara. Rangkaian unjuk rasa dimulai Desember 2010 setelah seorang pedagang buah dan sayur membakar dirinya sendiri sesudah polisi menyita dagangannya dengan alasan tidak memiliki izin.
Wided Bouchamaoui adalah salah satu dari kelompok Tunisian National Quartet yang juga melayangkan protes.
"Kuartet ini muncul di tengah-tengah revolusi dan kecamuk perang sipil yang melanda Tunisia. Kuartet mewakili spektrum masyarakat yang luas dari masyarakat, termasuk saling tak percaya antara pemimpin Islam dan pemimpin sekuler," jelas Wided Bouchamaoui dalam diskusi tentang 'Demokrasi dan Kesejahteraan', Senin (5/12).
Wided Bouchamaoui yang saat itu menjabat sebagai Presiden Tunisian Confederation of Industry, Trade and Handicraft dengan tegas menyuarakan bahwa demokrasi harus memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Seperti menciptakan lapangan kerja, menumbuhkan ekonomi dan sebagainya. Tak hanya itu, Wided Bouchamaoui juga menyuarakan agar paham Islam tak menjadi pegangan dalam konstitusi Tunisia kendati negara itu memiliki penduduk mayoritas muslim.
"Satu hal yang penting menurut saya adalah semua pihak yang berkepentingan memiliki kesadaran yang sama yaitu 'semua untuk Tunisia," kata dia.
Setelah melakukan gerakan Jasmine Revolution, Presiden Zine El Abidine Ben Ali akhirnya mundur dari jabatannya pada 14 Januari 2011 setelah 23 tahun berkuasa. Hingga saat ini, Tunisia hidup di tengah perdamaian.