Curahan hati para mantan teroris
Curahan hati para mantan teroris. Ada yang merasa kurang diperhatikan pemerintah dan ada pula ditolak masyarakat. Begitulah yang dirasakan sejumlah mantan narapidana kasus terorisme.
Ada yang merasa kurang diperhatikan pemerintah dan ada pula ditolak masyarakat. Begitulah yang dirasakan sejumlah mantan narapidana kasus terorisme. Agus Marsal, pria yang pernah di satu jaringan teroris dengan Yayat Cahdiyat, pelaku bom Bandung, mengaku kurang mendapat respons pemerintah setelah dirinya keluar dari penjara.
"Saya merasakan selama ini memang kurang respons, kami masih membutuhkan pengayoman, harusnya seperti anak dan orang tua saja," kata Agus Marsal di Purwakarta, Selasa (28/2).
Agus menambahkan, hubungan komunikasi antara pihak pemerintah dengan mantan terpidana kasus terorisme juga berlangsung kaku. Dia menduga aturan birokrasi mungkin menjadi penyebab dinginnya hubungan antara keduanya.
"Mungkin karena aturan birokrasi ya, tapi saya tidak tahu. Beda saat bertemu dengan Kang Dedi (Bupati Purwakarta), beliau (di Bulan April 2016) datang langsung ke rumah saya dan memberi bantuan modal usaha," ujarnya.
Agus bersama Yayat dan Enjang Somantri pernah terlibat kasus perampokan di SPBU Kali Asin Cikampek, Karawang Tahun 2010. Ketiganya memiliki latar belakang pendanaan untuk aksi terorisme.
Dia ditangkap kemudian bebas dari penjara setelah menjalani hukuman selama tiga tahun. Agus Marsal kini tinggal di Desa Cibening, Kecamatan Bungursari, Kabupaten Purwakarta. Kini Agus bekerja sebagai tenaga pengawas kebersihan.
Beda Agus, beda pula nasib mantan napi teroris rekan Machmudi Haryono alias Yusuf Adirima, atau biasa disapa Ucup. Jika Ucup yang juga mantan narapidana teroris kini sudah bisa diterima masyarakat, rekannya yang tak disebutkan namanya justru sebaliknya. Saat ingin mengurus kembali Kartu Tanda Penduduk (KTP) di wilayah tempatnya bermukim, dia ditolak saat mengurus KTP dan tidak diberikan sebagian haknya sebagai WNI.
"Ada yang barusan keluar dari lapas, Mas sampai sekarang saya belum punya KTP. Lho? Kok bisa? Saya enggak diterima," ujar ucup, Selasa (29/11).
Menurut Yusuf jika seorang mantan teroris dipersulit saat ingin mendapatkan KTP dan ingin mendapatkan status maka dikhawatirkan akan muncul rasa kebencian kembali terhadap pemerintah. "Seperti kejadian di Karanganyar, (dia bilang) wes saya ndak KTP-KTP nan ndak apa-apa! Ndak NKRI-NKRI juga nggak apa-apa! Sampai seperti itu kan itu satu langkah menuju kebencian (NKRI)," ungkapnya.
Sementara itu, Sofyan Sauri atau dahulunya dikenal sebagai Abu Jihad mengaku bersukur bisa sadar kembali, setelah sebelumnya menjadi bagian dari jaringan terorisme.
Setelah ditangkap Detasemen Khusus Antiteror Polri tahun 2010, dia mencoba untuk merefleksikan perbuatannya selama ini.
Dia juga mencoba untuk merenungi salinan surat Osama bin Laden yang mengakui adanya kekeliruan atas pola perjuangan yang diterapkan selama ini.
"Akhirnya saya sadar bahwa apa yang saya lakukan selama ini salah," kata Sofyan Sauri yang pernah menjadi anggota Polri dan bertugas di Polres Depok itu pula.
Polri meminta masyarakat untuk turut andil dalam membantu mantan narapidana teroris kembali berada di tengah-tengah warga. Hal ini diperuntukkan agar mantan napi teroris tidak kembali ke aksi teror karena alasan sosial.
"Secara utuh kebutuhan dari seseorang mantan narapidana yang telah menyelesaikan masa hukuman kemudian dia bisa diterima baik dengan masyarakat," kata Kadiv Humas Mabes Polri Boy Rafli Amar, Selasa (28/2).