Curhatan Soeharto di depan sepuluh tokoh sebelum lengser keprabon
Soeharto menilai Habibie kurang meyakinkan untuk menggantikan jabatannya sebagai presiden di tengah krisis.
Peristiwa bersejarah mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 silam, didahului dengan sejumlah dinamika yang mengikutsertakan sejumlah tokoh di era reformasi. Salah satu peristiwa yang penting untuk dirujuk adalah ketika Soeharto memanggil sejumlah tokoh masyarakat untuk dimintai pendapat terkait kondisi bangsa yang sudah amat genting akibat krisis multidimensi yang terjadi.
Mereka yang diundang ke Istana Negara oleh Soeharto pada 19 Mei 1998, atau dua hari menjelang pengunduran diri tokoh sentral Orde Baru itu adalah Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof Malik Fadjar dari Muhammadiyah, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi dari Muslimin Indonesia, Sumarsono dari Muhammadiyah, serta Achmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari Nahdlatul Ulama.
Ma'ruf Amin, salah satu saksi sejarah yang kini menjabat sebagai Rais Aam Syuriyah PBNU menceritakan, dalam kondisi genting saat itu, pemanggilan kesepuluh tokoh masyarakat dan ulama ke Istana Negara dimaksudkan oleh Soeharto untuk diajak berdiskusi mengenai eskalasi kekacauan yang meningkat. Hal ini seiring aksi demo yang tak pernah henti dari berbagai elemen masyarakat di berbagai daerah.
Hal itu menurutnya makin diperparah dengan maraknya aksi penjarahan, dan kekerasan berbau sentimen etnis dan SARA yang sangat berdampak fatal jika tidak segera ditangani oleh pemerintah.
Ma'ruf menjelaskan, saat memanggil para tokoh masyarakat ke Istana Negara hari itu, Soeharto terkesan sudah siap untuk meninggalkan jabatannya sebagai presiden yang telah dia duduki selama 32 tahun. Namun satu hal yang dikhawatirkan Soeharto adalah mengenai sosok sang Wakil Presiden kala itu, BJ Habibie, yang dinilai kurang meyakinkan untuk menggantikan jabatannya sebagai presiden di tengah kondisi bangsa yang sedang bergejolak.
"Beliau sebenarnya tidak keberatan untuk mundur, tapi beliau mengatakan apakah Wakil Presiden sudah siap untuk menghadapi keadaan yang rumit saat itu. Sebab konfliknya kan tinggi sekali," ujar Ma'ruf saat ditemui merdeka.com di kantor PBNU, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (18/5) lalu.
Dalam pembicaraan dengan kesepuluh tokoh tersebut, lanjut Ma'ruf, Soeharto bahkan tak ragu menanyakan kebimbangannya perihal bagaimana mekanisme yang tepat untuk dirinya mengundurkan diri. Sebagian tokoh yang hadir menyarankan agar Soeharto langsung mengundurkan diri saja dengan menyatakannya langsung melalui pengumuman di hadapan publik.
Namun, sebagian tokoh lainnya menyarankan agar ada sebuah mekanisme yang terlebih dahulu harus dibuat. Hal ini agar pengunduran diri Soeharto tidak menimbulkan kerancuan karena kondisi bangsa yang sedang terpuruk kala itu.
Usulan ini dimaksudkan agar presiden bisa meminimalisir potensi konflik baru, dan menghindari adanya dendam dari sejumlah pihak yang akan timbul jika pengunduran diri Soeharto dilakukan secara tiba-tiba di masa krisis.
"Beberapa tokoh termasuk saya, menyarankan agar sebaiknya Pak Harto mundur dengan perlahan agar tidak menjadi gejolak tambahan dan menimbulkan dendam politik. Sehingga beliau bisa turun dengan nyaman dan tidak ada permusuhan," ujar Ma'ruf.
Akhirnya, sebagai output dari hasil pertemuan antara Soeharto dengan kesepuluh tokoh masyarakat dan ulama hari itu, disepakatilah ketentuan bahwa pemerintah akan merombak Kabinet VII dan menggantinya dengan Kabinet Reformasi, dalam rentang waktu enam bulan ke depan.
Selain itu, mekanisme lain berupa diadakannya pemilu yang dipercepat dan dipersiapkan dalam masa enam bulan tersebut. Soeharto juga tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai calon presiden.
Hal ini dinilai sebagai langkah strategis dan terstruktur dalam mendesain mundurnya Soeharto dari tampuk pemerintahan, dengan jalan konstitusional guna menghindari adanya gejolak politik yang bisa makin memanaskan kondisi genting saat itu.
"Ini disepakati oleh para tokoh yang hadir saat itu, termasuk saya. Maka hal itu pun sudah menjadi keputusan dan Pak Harto siap untuk melakukan hal tersebut," pungkasnya.
Baca juga:
Cendana menghidupkan Soeharto lewat padi
Rangkap jabatan Harmoko jadi bumerang bagi Soeharto
Teka-teki mundurnya 14 menteri Ekuin sebelum Soeharto lengser
Cerita Habibie umpat Soeharto 'Bapak kurang ajar' sebelum lengser
14 Menteri bikin Soeharto lengser lebih cepat
Detik-detik kejatuhan Orde Baru 21 Mei 1998
-
Kapan Soeharto mendapat gelar Jenderal Besar? Presiden Soeharto mendapat anugerah jenderal bintang lima menjelang HUT Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke-52, tanggal 5 Oktober 1997.
-
Siapa yang berencana meracuni Soeharto? Rupanya tamu wanita yang tidak kami undang itu berencana meracuni kami sekaluarga," kata Soeharto.
-
Kapan Presiden Soeharto biasanya berangkat ke kantor? Pak Harto Terbiasa Berangkat ke Kantor Jam 09.00 Atau Jam 10.00 WIB Pagi harinya dia akan bekerja di Jl Cendana, seperti memanggil menteri atau memeriksa laporan dari para pejabat.
-
Kenapa Soeharto selalu tersenyum? Presiden Indonesia Kedua Soeharto dikenal dengan sebutan ‘The Smiling General’ atau Sang Jenderal yang Tersenyum. Ini karena raut mukanya senantiasa tersenyum dan ramah.
-
Kapan Soeharto bertugas di Sulawesi Selatan? Soeharto dan keluarga BJ Habibie sudah saling kenal dan dekat sejak tahun 1950. Kala itu, Soeharto berdinas di Sulawesi Selatan dan kebetulan rumah BJ Habibie tepat di depan markasnya, Brigade Mataram.
-
Apa yang dilakukan Soeharto saat rombongan presiden akan melintasi Jalan Tol Semanggi? Di tol Semanggi, tiba-tiba Soeharto menepuk pundak ajudannya, Kolonel Wiranto. "Wiranto, Beri Tahu Polisi itu Kendaraan di Jalan Tol, Tidak Perlu Dihentikan." Mereka itu membayar untuk jalan bebas hambatan, bukan malah disetop gara-gara presiden mau lewat," kata Soeharto. "Kalau Mereka Dibiarkan Jalan Pelan-Pelan kan Tidak Mengganggu Rombongan."