Data Kemenkes: Pengguna Rokok Elektrik Meningkat
Ada kecenderungan anak-anak beralih dari rokok konvensional ke rokok elektronik.
Ada peningkatan pada penggunaan rokok elektrik yang mana sebelumnya sebesar 0,06 persen (Riskesdas 2018), menjadi 0,13 persen (SKI 2023).
- Hasil Analisis Jika Cukai Rokok Naik Tinggi: Banyak Konsumen Beralih ke Golongan Lebih Murah
- Ungkap Data, Kemenperin Khawatir Aturan Rokok Polos Tanpa Merek Picu PHK dan Rugikan Ekonomi RI
- Bahaya Rokok Elektrik bagi Kesehatan Tubuh, Wajib Tahu
- UI: Rokok Elektrik Bukan Pengganti Rokok Konvensional, Risikonya Lebih Tinggi
Data Kemenkes: Pengguna Rokok Elektrik Meningkat
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan, menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi merokok pada usia 10-18 tahun turun menjadi sebesar 7,4 persen.
Data ini menurun dari angka 9,1 persen yang dicatat dalam Riset Kesehatan Dasar 2018.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Eva Susanti mengatakan, 7,4 persen perokok usia muda tersebut lebih tinggi dari angka prevalensi tahun 2013, yaitu 7,2 persen, serta target RPJMN 2015-2019 sebesar 5,4 persen.
Namun demikian, Eva menambahkan ada peningkatan pada penggunaan rokok elektrik yang mana sebelumnya sebesar 0,06 persen (Riskesdas 2018), menjadi 0,13 persen (SKI 2023).
"Data Global Adult Tobacco Survey menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan, 10 kali penggunaan rokok elektronik dari 0,3 persen menjadi 3,0 persen," ujarnya, dikutip dari Antara.
Dia juga mengatakan ada kecenderungan anak-anak untuk beralih dari rokok konvensional ke rokok elektronik.
Menurut data SKI, ujarnya, rentang usia mulai merokok terbanyak adalah 15-19 tahun sebanyak 56,5 persen, disusul dengan 10-14 tahun sebesar 18,4 persen.
"Data hasil Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019 menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi perokok pada anak sekolah usia sekolah, terutama pada umur 13-15 tahun, dari 18,3 persen tahun 2016 menjadi 19,2 persen tahun 2019," katanya.
Menurutnya, Indonesia dihadapkan dengan bahaya pertumbuhan perokok aktif, karena gencarnya promosi produk itu di masyarakat, terutama pada remaja.
Indonesia, ujarnya, adalah negara dengan banyak penduduk, yang menjadikannya pasar potensial bagi berbagai produk, termasuk rokok.
Eva mengatakan, anak-anak harus diedukasi agar paham bahwa merokok bukanlah tren yang baik, justru mendatangkan lebih banyak kerugian.
Menurutnya, apabila anak-anak tersebut merokok, maka semakin bertambahnya usia akan semakin kecanduan, dan semakin sulit untuk lepas dari rokok.
Oleh karena itu, ujarnya, Kementerian Kesehatan menggencarkan sejumlah upaya guna mencegah agar anak-anak tidak merokok, seperti dengan larangan konsumsi produk tembakau dan rokok elektrik bagi anak-anak dan wanita hamil, serta larangan iklan di media sosial berbasis teknologi dan juga penjualan rokok batangan.
Selain itu, kata Eva, berdasarkan UU nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan serta sejumlah Peraturan Pemerintah, pemerintah daerah diwajibkan untuk menetapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tujuh tatanan, antara lain sekolah, fasilitas kesehatan, dan angkutan umum.
Mereka, katanya, juga menyediakan layanan konseling bebas pulsa bagi masyarakat yang ingin berhenti merokok, yaitu di Quitline.INA di nomor 0-800-177-6565. Selain itu, puskesmas juga dapat membantu dalam penanganan gejala putus nikotin.