Delapan karung daging celeng ilegal dimusnahkan di Bandara Soetta
Daging itu diselundupkan dari Bengkulu, Palembang, Jambi, dan Lampung. Diduga sebagian sudah terjual dan diolah.
Karantina Hewan Bandara Soekarno-Hatta bersama Bareskrim Mabes Polri memusnahkan delapan karung daging celeng ilegal, Senin (9/11). Pemusnahan dilakukan dengan cara dibakar di dalam tungku insinerator, di Balai Karantina Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Kepala Balai Karantina Pusat, Joni Anwar mengatakan, daging babi celeng ilegal itu dipasok dari Bengkulu, dan rencananya akan dipasarkan di wilayah Jabodetabek dan Pulau Jawa. Pengungkapan ini berdasarkan informasi soal pengiriman daging babi celeng sebanyak 1,5 ton dari Bengkulu dengan tujuan Pulau Jawa. Dari informasi itu, pihaknya bersama Mabes Polri melakukan penggerebekan di wilayah Bekasi, Jawa Barat.
"Dari informasi sebanyak 1,5 ton daging babi celeng yang diedarkan, ternyata setelah digerebek petugas hanya menemukan delapan karung daging celeng, di mana yang satu karung isinya 100 sampai 150 kilogram," kata Joni.
Joni menambahkan, asal usul daging babi celeng itu dari beberapa wilayah yakni seperti Bengkulu, Palembang, Jambi, dan Lampung.
"Daging ini sudah beredar di pasaran di sekitar Jabodetabek. Kalau sudah di pasaran, kemungkinan sudah disamarkan dan kemungkinan juga sudah dibuat bakso," ucap Joni.
Menurut Kepala Subdit 1 Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Bareskrim Mabes Polri, AKBP Hartono, modus penyelundupan daging celeng itu memakai truk disamarkan dengan barang-barang lain.
"Modus cukup rapih, pelaku menyamarkan daging dengan pisang. Petugas cukup kesulitan untuk mengamatinya, karena para pelaku ini selalu berkoordinasi dengan jaringan mereka di daerah lain dan jika barang tersebut diketahui petugas, komunikasi mereka bisa terputus. Jadi yang sering kena cuma sopir saja, tapi pelaku utamanya sulit terungkap," jelasnya.
Dalam pengungkapan ini, pihaknya sudah mengamankan satu pelaku sebagai pemilik daging. Pihaknya mengenakan sanksi sesuai peraturan karantina dalam Undang-Undang Nomor 16/1992, dengan ancaman hukuman tiga tahun penjara.