Demokrat berang kebijakan impor gula era SBY disebut rugikan negara
Dalam kepemimpinan SBY kebutuhan gula dinilai selalu naik tiap tahunnya.
Ketua DPP Partai Demokrat, Herman Khaeron membantah anggapan bahwa kebijakan penetapan kuota impor gula di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merugikan negara. Menurut dia, kebutuhan gula nasional selalu meningkat tiap tahun ketika dipimpin oleh SBY.
"Ini sangat aneh dan tidak berdasar. Kebutuhan gula nasional baik untuk konsumsi maupun industri setiap tahunnya naik terus dan produksi dalam negeri pun juga naik," kata Herman dikutip dari Antara, Selasa (25/8).
Sebelumnya, Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Ismed Hasan Putro yang menyebut kebijakan penetapan kuota impor gula di era SBY merugikan negara. Namun hal ini dibantah tegas oleh Herman yang juga wakil Ketua Komisi IV DPR.
Herman mengatakan, karena kebutuhan industri meningkat pesat kebutuhannya pun meningkat pula, sehingga kemampuan dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi permintaan, dan impor adalah jalan terakhir yang dilakukan. Menurut dia, impor hanya untuk kebutuhan industri, dengan memperhatikan industri gula dan petani tebu dalam negeri.
"Seingat saya ketika Ismet menjabat Dirut RNI, justru selalu minta kuota impor gula untuk RNI dan menyatakan bahwa sampai kiamat pun swasembada gula tidak akan tercapai," ujarnya.
Dia mengingatkan di era pemerintahan SBY sangat jelas ada 5 komoditas pangan pokok yang secara khusus diupayakan menuju swasembada, yaitu beras, gula, daging sapi, jagung, dan kedelai. Dia menambahkan, laporan perkembangan dan evaluasi setiap tahunnya selalu ada kemajuan.
"Bahkan untuk beras dan jagung sejak tahun 2008 ditetapkan sebagai swasembada berkelanjutan, karena produksinya sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri," katanya.
Dia juga mengingatkan bahwa sejak tahun 2004, SBY di Purwakarta sudah mencanangkan revitalisasi sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan sebagai upaya menuju kemandirian pangan. Menurut dia, dokumennya lengkap, serta arah, tujuan dan pencapiannya jelas dan terukur.
Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia Ismed Hasan Putro menyebut, Kementerian Perdagangan di era pemerintahan SBY menetapkan kuota impor gula rafinasi hingga 6 juta ton. Dia menilai, penetapan itu diduga masuk kategori tindak pidana.
"Akibat impor dalam jumlah itu industri gula di dalam negeri tak bisa merevitalisasi hingga enam tahun mendatang," kata Ismed di Jakarta, Sabtu (21/8).
Mantan Dirut RNI ini mengatakan, potensi kerugian negara akibat kebijakan tersebut mencapai Rp 3 triliun.